
Rio Aditya Kurniawan, S.KH
Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga
Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Universitas Airlangga
2.1. Etiologi dan Morfologi Virus Avian Influenza
Avian Influenza merupakan jenis penyakit viral yang tergolong ganas pada berbagai macam unggas yang menyerang saluran pernafasan, pencernaan dan sistem syaraf. Penyakit Avian Influenza disebabkan oleh virus influenza (virus RNA) yang mempunyai aktifitas Haemaglutinin dan Neuraminidase dan tergolong dalam famili Orthomyxoviridae. Virus influenza terdiri dari tiga tipe antigenik yang berbeda yaitu tipe A, tipe B dan tipe C, dimana setiap tipe dari virus influenza ditentukan oleh struktur antigenik protein nuclei dan matrik antigen yang saling berhubungan erat di antara virus tertentu (Tabbu, 2000; Horimoto and Kawaoka, 2001). Selain unggas, virus influenza juga menginfeksi beberapa spesies mamalia dan manusia. Virus influenza tipe A ditemukan pada ayam, babi, kalkun, bebek, mentok, angsa, burung dan ikan paus. Virus influenza tipe B ditemukan pada manusia dan babi (WHO, 2005; Nidom, 2005).
Virus influenza A dapat menginfeksi unggas dan mamalia. Virus influenza tipe B dan C dapat diisolasi dari manusia dan sifatnya kurang patogen (low pathogenic) dibandingkan dengan virus influenza A. Perbedaan virus influenza A dan B terdapat pada protein permukaan yang berfungsi sebagai saluran ion. Virus influenza C mempunyai tujuh macam gen dan hanya mempunyai satu macam glikoprotein yaitu Haemaglutinin-Esterase-Fusion (HEF) yang berfungsi sebagai protein haemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) pada tipe virus yang lain yang tampak seperti gambar 2.1. (Whittaker, 2001).
Bentuk virus influenza adalah adalah pleomorfik, ovoid, spherik atau filamen dengan ukuran diameter 80 – 120 nm. Virus ini memiliki envelope, genom ssRNA bersegmen sehingga dapat terjadi reassortment (Raharjo dan Nidom, 2004).
Virus Influenza A merupakan virus RNA dengan genom yang terdiri dari delapan gen RNA dan menghasilkan sepuluh protein. Kedelapan fragmen gen ini terbagi menjadi dua bagian yaitu gen eksternal dan gen internal. Gen eksternal terdiri dari gen haemaglutinin (HA) dan gen neuraminidase (NA) yang bersifat antigenik dan berfungsi dalam perlekatan pada sel hospes (Horimoto dan Kawaoka, 2001; Harder dan Werner, 2006). Gen internal terdiri dari gen polymerase basic 2 (PB2), polymerase basic 1 (PB1), polymerase acidic (PA), nucleoprotein (NP), matriks (M) dan non-structural (NS). Gen internal ini berfungsi dalam replikasi dan transkripsi virus. Masing-masing fragmen gen virus Avian Influenza A menghasilkan satu macam protein, kecuali fragmen M dan fragmen NS, yaitu masing-masing menghasilkan dua macam protein, yaitu protein M1 dan M2 serta protein NS1 dan NS2 (Horimoto dan Kawaoka, 2001).
Virus Avian Influenza terdiri atas 15 subtipe (berdasarkan atas kandungan Haemaglutinin) dan terdiri atas 9 subtipe (berdasarkan atas kandungan Neuraminidase) (Raharjo dan Nidom, 2004).
Haemaglutinin merupakan molekul glikoprotein selubung virus yang berfungsi untuk mengikatkan virus ke reseptor sel target dan mengawali terjadinya infeksi. Enzim neuraminidase memiliki fungsi untuk melepas keturunan virus dari sel yang terinfeksi dan juga mempunyai aktifitas untuk melepas ikatan haemaglutinin dan permukaan sel darah merah (Treanor, 2004).
Variasi antigenik pada virus influenza dapat ditemukan dengan frekuensi yang tinggi dan melalui dua cara, yaitu drift dan shift. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Antigenic Drift dan Antigenic Shift) dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi (Horimoto and Kawaoka, 2001; Nidom dkk, 2005). Sifat antigenic drift merupakan keadaan virus AI yang mengalami mutasi urutan nukleotida pada gen HA atau NA atau keduanya yang menyebabkan antibodi tidak bisa secara lengkap menetralisasi virus ini. Perubahannya bersifat terbatas (minor), tetapi subtipenya tetap sama. Sedangkan sifat antigenic shift merupakan aktivitas dari dua macam virus Avian Influenza A yang menghasilkan segmen gen baru sebagai hasil rekombinan genetik. Aktivitas ini mengakibatkan antibodi yang sudah terbentuk di dalam tubuh tidak dapat menetralkan sama sekali terhadap virus baru tersebut. Jadi aktivitas ini akan menghasilkan subtipe baru. Perubahannya dominan (mayor) dan dapat menimbulkan keadaan pandemik (Raharjo dan Nidom, 2004).
2.1. Sifat Virus Avian Influenza
Virus Avian Influenza bersifat inaktif pada suhu 56 oC selama tiga hari dengan temperatur 60 oC selama tiga menit, pH asam, bahan kimia (oksidator, sodium doedecyl sulphate, Lipid solven, B Propiolakton), desinfektasia (formalin dan senyawa Iodium), tetapi dapat bertahan lama pada jaringan hewan, feses dan air (Treanor, 2004).
Virus Avian Influenza terlindung oleh bahan organik yang ada dalam kandang seperti lendir, darah dan tinja. Virus Avian Influenza masih tetap infektif dalam feses selama 30-35 hari pada temperatur 4 oC, selama tujuh hari pada temperatur 20 oC. Virus influenza yang bersifat infeksius dapat diisolasi dari cairan kotoran ayam selama 105 hari setelah depopulasi ayam pada saat terjadinya letupan Avian Influenza. Virus influenza dapat bertahan lama dengan kondisi lembab dan dingin serta dapat diisolasi dari air danau atau air kolam yang terletak di daerah yang banyak dihuni oleh unggas air. Virus influenza bisa tumbuh di dalam telur ayam bertunas (TAB) yang berumur 9-11 hari. Virus ini juga tumbuh pada kultur jaringan chicken embryo fibroblast (CEF) dan uji invivo bisa dilakukan pada ayam, kalkun dan itik (Tabbu, 2000).
2.3 Tingkat Keganasan
Virus Avian Influenza dikategorikan dalam prototipe yang berbeda berdasarkan kemampuannya untuk menyebabkan penyakit yang ringan atau ganas. Secara umum virus Avian Influenza dibedakan menjadi dua yaitu HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) dan LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza) (Raharjo dan Nidom, 2004).
Virus HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza ) bersifat tropisme untuk berkembang biak pada saluran pernafasan, pencernaan, sistem syaraf dan peredaran darah sehingga mampu menyerang dan merusak semua organ tubuh. Salah satu tanda Highly Pathogenic Avian Influenza adalah tingkat kematian yang sangat tinggi, yaitu mencapai 100%. Virus yang bersifat HPAI seperti H5 dan H7 mudah mengalami mutasi dan keganasannya ditentukan oleh waktu, tempat dan inang yang terinfeksi (Raharjo dan Nidom, 2004).
Hewan yang terinfeksi virus influenza yang bersifat LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza) ini dapat sembuh dalam waktu seminggu dengan gejala pernafasan. Hewan yang sembuh ini biasanya menularkan virus melalui tinjanya. Virus Low Pathogenic Avian Influenza mampu mengalami mutasi antigenik menjadi Highly Pathogenic Avian Influenza. Kematian akibat Highly Pathogenic Avian Influenza berlangsung cepat dan didahului dengan gejala pernafasan atau kadang tanpa gejala (Horimoto dan Kawaoka, 2001).
2.4. Patogenesis Virus Avian Influenza
Virus Avian Influenza dari aspek patogesisnya selama ini dikenal dua macam yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Patohenic Avian Influenza (HPAI). Sementara dari aspek subtipe, virus Avian Influenza yang dikategorikan sebagai HPAI adalah subtipe H5 dan H7. Kedua subtipe ini mampu menyebabkan gangguan respirasi dan kematian hingga 100% pada unggas. Virus HPAI yang menginfeksi hewan dan manusia di Indonesia sampai saat ini mempunyai subtipe H5N1 (Nidom,2005).
Patogenisitas virus Avian Influenza subtipe H5N1 adalah poligenik, bukan hanya ditentukan oleh protein hemaglutinin (HA) tetapi juga oleh protein neuraminidase (NA). Protein HA mempunyai peran penting dalam proses masuknya virus ke dalam sel dan menentukan respon antibodi yang ditimbulkan oleh antigen virus ini. Protein NA mempunyai peran penting untuk membedakan inang. Sebagai contoh suatu virus reassortant yang berisi gen yang semuanya dari bebek, kecuali NA yang berasal dari manusia, ternyata virus ini tidak dapat tumbuh pada bebek. Sebagaimana dengan protein HA, spesifisitas substrat untuk protein NA tampaknya ikut berperan dalam replikasi virus Influenza A (Horimoto and Kawaoka,2001).
Enzim ini akan menghidrolisis ikatan antara galaktosa dan N-acetylneuramic pada rantai ujung oligosakarida-glikoprotein untuk melepaskan N-acetylneuraminic acid (asam sialat) dari permukaan sel. Fungsi protein NA yang bersifat kebalikan dari protein HA ini, harus berada dalam keseimbangan. Hal ini bertujuan agar aktivitas enzimatisnya saat melepaskan asam sialat tidak mengakibatkan penurunan efisiensi infeksi, karena pelepasan asam sialat dari sel yang tidak terinfeksi terjadi sebelum penempelan virus. Fungsi lain protein NA adalah untuk melepaskan partikel virus yang sudah dibentuk dari sel. Juga untuk mencegah virion yang sudah terbentuk tersebut menempel kembali pada reseptor asam sialat (Kobasa et al.2001).
Berdasarkan penelitian terdahulu, menunjukkan fungsi lain dari protein NA ini, yaitu protein ini juga dapat mefasilitasi virus Influenza dalam proses masuknya ke dalam sel, sehingga keseimbangan antara protein HA dan NA sangat penting dalam menentukan infektifitas virus influenza ini (Matrovich et al.2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar