Cari Blog Ini
Senin, 08 Februari 2010
Rio Aditya K: Beasiswa StuNed (Belanda)
Rio Aditya K: Beasiswa StuNed (Belanda): "http://www.puskari.dkp.go.id/new_puskari/detil_berita.php?id=233"
Beasiswa StuNed (Belanda)
untuk lebih jelas mengenai info beasiswa ini, silakan melihat pada web berikut:
http://www.puskari.dkp.go.id/new_puskari/detil_berita.php?id=233
* http://www.nesoindonesia.or.id
* http://www.nesoindonesia.or.id/home/news-events/news-archive/2010/stuned-beasiswa-untuk-pembangunan-indonesia
* http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/beasiswa/stuned
* http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/beasiswa/stuned/stuned-master-programme
http://www.puskari.dkp.go.id/new_puskari/detil_berita.php?id=233
* http://www.nesoindonesia.or.id
* http://www.nesoindonesia.or.id/home/news-events/news-archive/2010/stuned-beasiswa-untuk-pembangunan-indonesia
* http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/beasiswa/stuned
* http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/beasiswa/stuned/stuned-master-programme
Deteksi Flu Burung Dengan Teknologi PCR

Wabah flu burung yang sering terjadi dapat menimbulkan keprihatinan kita bersama. Data WHO telah mencatat terjadinya kasus flu burung dari berbagai kasus diberbagai daerah dan lebih dari setengah kasus tersebut menyebabkan diantaranya meninggal dunia. Maka dari itu flu burung merupakan penyakit yang membahayakan bagi manusia. Penyakit flu burung disebabkan oleh virus influenza patogenik tinggi (highly pathogenic avian influenza (HPAI). Virus yang dikenal dengan H5NI merupakan virus influenza tipe A dan termasuk kelompok (famili) Orthomyxoviridae pada klasifikasi virus, sehingga sering kali dalam referensi WHO ditulis sebagai virus HPAI A/H5NI. Kelompok ini mempunyai ciri, yaitu berupa RNA utas tunggal negatif.
Ciri lain dari virus H5NI adalah bahwa RNA virus flu burung ini terbungkus dua jenis protein yaitu hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). pada penamaan virus H5NI, angka 5 pada H5 menunjukan sub tipe ke-1 dari 9 sub tipe protein neuraminidase. Menurut WHO, jenis virus influenza pathogenic tinggi terdapat pada virus H5 dan H7 yang berarti virus influenza tersebut terbungkus protein hemaglutinin sub tipe ke 5 atau ke 7.
Dalam beberapa artikel ilmu pengetahuan baru-baru ini salah satu teknik PCR dapat digunakan untuk mendeteksi gen-gen virus influenza yang khas dalam rangka deteksi dini (early date action) dan tindakksn dini (early action). Istilah polymerase chain reaction (PCR) yang awalnya dikenal dalam lingkup biologi molekuler dan bioteknologi dapat diaplikasikan untuk mendeteksi flu burung.
Sehubungan dengan RNA sebagai komponen dasar genetik yang terdapat pada virus flu burung inilah metode RT-PCR yang dipergunakan sebagai metode deteksinya. Untuk “primer” yang digunakan berdasarkan standar WHO saat ini, diperlukan minimal 4 buah, yaitu dua buah untuk melipat gandakan segmen DNA pengkode hemaglutinin sub tipe 5 (H5) dengan menghasilkan produk segmen DNA berukuran sekitar 219 pasang basa sedangkan dua lagi untuk melipat gandakan segmen DNA pengkode neuraminidase subtipe 1 (CN) dengan menghasilkan produk segmen DNA berukuran sekitar 616 bp. Selain itu WHO menambahkan dua buah “primer” untuk digunakan melipatgandakan segmen DNA pengkode hemaglutinin subtipe 9 (H9) yang menghasilkan produk DNA berukuran 388bp.
Deteksi virus flu burung dengan mengkode PCR dapat dilakukan di laboraturiumstandar biologi molekuler atau bioteknologi yang memiliki mesin PCR. Baik di LIPII, perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dibawah departemen.
Proses transkripsi RNA
Pada metode RT-PCR ini, sumber sampal yang gdipergunakan adalah RNA. RNA merupakan asam ribonukea utas tunggal. Ciri khas RNA adalah tidak terdapat gugus basa nukleotida timin (T) melainkan terganti oleh urasil (U). Dalam hal ini akan disintesis DNA dari perpasangan antara gugus U dengan C. Dari DNA inilah dilipatgandakannya segmen DNA yang mirip urutan basa nukleotida pada RNA, hanya U tergantikan kembali ke T. Proses yang terjadi ini mirip proses transkripsi, urutan basa nukleotida RNA. Pada RT-PCR, proses ini membalikkan dari RNA menjadi DNA yang disebut dengan DNA komplemen atau disingkat DNA . Karena ada pertambahan proses sintesis DNA, tambahan proses PCR-nya turut bertambah pula. Pada tahap pertama, tidak diperlukan adanya denaturasi, tetapi langsung pada proses anneling untuk memasangkan “primer” dan tension untuk memperpanjangnya menjadi segmen molokul cDNA. Setelah terbentuk molekul cDNA ini, baru kemudian masuk kepada reaksi PCR biasa yang membutuhkan tiga tahap proses, yaitu denaturasi, anneling, dan extension yang kemudian diputar berulang-ulang sampai kelipatan 40 kali.
ASPEK BIOLOGI MOLEKULER VIRUS AVIAN INFLUENZA

Rio Aditya Kurniawan, S.KH
Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga
Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Universitas Airlangga
2.1. Etiologi dan Morfologi Virus Avian Influenza
Avian Influenza merupakan jenis penyakit viral yang tergolong ganas pada berbagai macam unggas yang menyerang saluran pernafasan, pencernaan dan sistem syaraf. Penyakit Avian Influenza disebabkan oleh virus influenza (virus RNA) yang mempunyai aktifitas Haemaglutinin dan Neuraminidase dan tergolong dalam famili Orthomyxoviridae. Virus influenza terdiri dari tiga tipe antigenik yang berbeda yaitu tipe A, tipe B dan tipe C, dimana setiap tipe dari virus influenza ditentukan oleh struktur antigenik protein nuclei dan matrik antigen yang saling berhubungan erat di antara virus tertentu (Tabbu, 2000; Horimoto and Kawaoka, 2001). Selain unggas, virus influenza juga menginfeksi beberapa spesies mamalia dan manusia. Virus influenza tipe A ditemukan pada ayam, babi, kalkun, bebek, mentok, angsa, burung dan ikan paus. Virus influenza tipe B ditemukan pada manusia dan babi (WHO, 2005; Nidom, 2005).
Virus influenza A dapat menginfeksi unggas dan mamalia. Virus influenza tipe B dan C dapat diisolasi dari manusia dan sifatnya kurang patogen (low pathogenic) dibandingkan dengan virus influenza A. Perbedaan virus influenza A dan B terdapat pada protein permukaan yang berfungsi sebagai saluran ion. Virus influenza C mempunyai tujuh macam gen dan hanya mempunyai satu macam glikoprotein yaitu Haemaglutinin-Esterase-Fusion (HEF) yang berfungsi sebagai protein haemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) pada tipe virus yang lain yang tampak seperti gambar 2.1. (Whittaker, 2001).
Bentuk virus influenza adalah adalah pleomorfik, ovoid, spherik atau filamen dengan ukuran diameter 80 – 120 nm. Virus ini memiliki envelope, genom ssRNA bersegmen sehingga dapat terjadi reassortment (Raharjo dan Nidom, 2004).
Virus Influenza A merupakan virus RNA dengan genom yang terdiri dari delapan gen RNA dan menghasilkan sepuluh protein. Kedelapan fragmen gen ini terbagi menjadi dua bagian yaitu gen eksternal dan gen internal. Gen eksternal terdiri dari gen haemaglutinin (HA) dan gen neuraminidase (NA) yang bersifat antigenik dan berfungsi dalam perlekatan pada sel hospes (Horimoto dan Kawaoka, 2001; Harder dan Werner, 2006). Gen internal terdiri dari gen polymerase basic 2 (PB2), polymerase basic 1 (PB1), polymerase acidic (PA), nucleoprotein (NP), matriks (M) dan non-structural (NS). Gen internal ini berfungsi dalam replikasi dan transkripsi virus. Masing-masing fragmen gen virus Avian Influenza A menghasilkan satu macam protein, kecuali fragmen M dan fragmen NS, yaitu masing-masing menghasilkan dua macam protein, yaitu protein M1 dan M2 serta protein NS1 dan NS2 (Horimoto dan Kawaoka, 2001).
Virus Avian Influenza terdiri atas 15 subtipe (berdasarkan atas kandungan Haemaglutinin) dan terdiri atas 9 subtipe (berdasarkan atas kandungan Neuraminidase) (Raharjo dan Nidom, 2004).
Haemaglutinin merupakan molekul glikoprotein selubung virus yang berfungsi untuk mengikatkan virus ke reseptor sel target dan mengawali terjadinya infeksi. Enzim neuraminidase memiliki fungsi untuk melepas keturunan virus dari sel yang terinfeksi dan juga mempunyai aktifitas untuk melepas ikatan haemaglutinin dan permukaan sel darah merah (Treanor, 2004).
Variasi antigenik pada virus influenza dapat ditemukan dengan frekuensi yang tinggi dan melalui dua cara, yaitu drift dan shift. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Antigenic Drift dan Antigenic Shift) dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi (Horimoto and Kawaoka, 2001; Nidom dkk, 2005). Sifat antigenic drift merupakan keadaan virus AI yang mengalami mutasi urutan nukleotida pada gen HA atau NA atau keduanya yang menyebabkan antibodi tidak bisa secara lengkap menetralisasi virus ini. Perubahannya bersifat terbatas (minor), tetapi subtipenya tetap sama. Sedangkan sifat antigenic shift merupakan aktivitas dari dua macam virus Avian Influenza A yang menghasilkan segmen gen baru sebagai hasil rekombinan genetik. Aktivitas ini mengakibatkan antibodi yang sudah terbentuk di dalam tubuh tidak dapat menetralkan sama sekali terhadap virus baru tersebut. Jadi aktivitas ini akan menghasilkan subtipe baru. Perubahannya dominan (mayor) dan dapat menimbulkan keadaan pandemik (Raharjo dan Nidom, 2004).
2.1. Sifat Virus Avian Influenza
Virus Avian Influenza bersifat inaktif pada suhu 56 oC selama tiga hari dengan temperatur 60 oC selama tiga menit, pH asam, bahan kimia (oksidator, sodium doedecyl sulphate, Lipid solven, B Propiolakton), desinfektasia (formalin dan senyawa Iodium), tetapi dapat bertahan lama pada jaringan hewan, feses dan air (Treanor, 2004).
Virus Avian Influenza terlindung oleh bahan organik yang ada dalam kandang seperti lendir, darah dan tinja. Virus Avian Influenza masih tetap infektif dalam feses selama 30-35 hari pada temperatur 4 oC, selama tujuh hari pada temperatur 20 oC. Virus influenza yang bersifat infeksius dapat diisolasi dari cairan kotoran ayam selama 105 hari setelah depopulasi ayam pada saat terjadinya letupan Avian Influenza. Virus influenza dapat bertahan lama dengan kondisi lembab dan dingin serta dapat diisolasi dari air danau atau air kolam yang terletak di daerah yang banyak dihuni oleh unggas air. Virus influenza bisa tumbuh di dalam telur ayam bertunas (TAB) yang berumur 9-11 hari. Virus ini juga tumbuh pada kultur jaringan chicken embryo fibroblast (CEF) dan uji invivo bisa dilakukan pada ayam, kalkun dan itik (Tabbu, 2000).
2.3 Tingkat Keganasan
Virus Avian Influenza dikategorikan dalam prototipe yang berbeda berdasarkan kemampuannya untuk menyebabkan penyakit yang ringan atau ganas. Secara umum virus Avian Influenza dibedakan menjadi dua yaitu HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) dan LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza) (Raharjo dan Nidom, 2004).
Virus HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza ) bersifat tropisme untuk berkembang biak pada saluran pernafasan, pencernaan, sistem syaraf dan peredaran darah sehingga mampu menyerang dan merusak semua organ tubuh. Salah satu tanda Highly Pathogenic Avian Influenza adalah tingkat kematian yang sangat tinggi, yaitu mencapai 100%. Virus yang bersifat HPAI seperti H5 dan H7 mudah mengalami mutasi dan keganasannya ditentukan oleh waktu, tempat dan inang yang terinfeksi (Raharjo dan Nidom, 2004).
Hewan yang terinfeksi virus influenza yang bersifat LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza) ini dapat sembuh dalam waktu seminggu dengan gejala pernafasan. Hewan yang sembuh ini biasanya menularkan virus melalui tinjanya. Virus Low Pathogenic Avian Influenza mampu mengalami mutasi antigenik menjadi Highly Pathogenic Avian Influenza. Kematian akibat Highly Pathogenic Avian Influenza berlangsung cepat dan didahului dengan gejala pernafasan atau kadang tanpa gejala (Horimoto dan Kawaoka, 2001).
2.4. Patogenesis Virus Avian Influenza
Virus Avian Influenza dari aspek patogesisnya selama ini dikenal dua macam yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Patohenic Avian Influenza (HPAI). Sementara dari aspek subtipe, virus Avian Influenza yang dikategorikan sebagai HPAI adalah subtipe H5 dan H7. Kedua subtipe ini mampu menyebabkan gangguan respirasi dan kematian hingga 100% pada unggas. Virus HPAI yang menginfeksi hewan dan manusia di Indonesia sampai saat ini mempunyai subtipe H5N1 (Nidom,2005).
Patogenisitas virus Avian Influenza subtipe H5N1 adalah poligenik, bukan hanya ditentukan oleh protein hemaglutinin (HA) tetapi juga oleh protein neuraminidase (NA). Protein HA mempunyai peran penting dalam proses masuknya virus ke dalam sel dan menentukan respon antibodi yang ditimbulkan oleh antigen virus ini. Protein NA mempunyai peran penting untuk membedakan inang. Sebagai contoh suatu virus reassortant yang berisi gen yang semuanya dari bebek, kecuali NA yang berasal dari manusia, ternyata virus ini tidak dapat tumbuh pada bebek. Sebagaimana dengan protein HA, spesifisitas substrat untuk protein NA tampaknya ikut berperan dalam replikasi virus Influenza A (Horimoto and Kawaoka,2001).
Enzim ini akan menghidrolisis ikatan antara galaktosa dan N-acetylneuramic pada rantai ujung oligosakarida-glikoprotein untuk melepaskan N-acetylneuraminic acid (asam sialat) dari permukaan sel. Fungsi protein NA yang bersifat kebalikan dari protein HA ini, harus berada dalam keseimbangan. Hal ini bertujuan agar aktivitas enzimatisnya saat melepaskan asam sialat tidak mengakibatkan penurunan efisiensi infeksi, karena pelepasan asam sialat dari sel yang tidak terinfeksi terjadi sebelum penempelan virus. Fungsi lain protein NA adalah untuk melepaskan partikel virus yang sudah dibentuk dari sel. Juga untuk mencegah virion yang sudah terbentuk tersebut menempel kembali pada reseptor asam sialat (Kobasa et al.2001).
Berdasarkan penelitian terdahulu, menunjukkan fungsi lain dari protein NA ini, yaitu protein ini juga dapat mefasilitasi virus Influenza dalam proses masuknya ke dalam sel, sehingga keseimbangan antara protein HA dan NA sangat penting dalam menentukan infektifitas virus influenza ini (Matrovich et al.2004).
Minggu, 07 Februari 2010
HUBUNGAN TLR, MHC DAN NF-kB DALAM KAITANNYA DENGAN PENANGANAN ALERGI OLEH BAKTERI ASAM LAKTAT

Rio Aditya Kurniawan, S.KH
Program Pasca Sarjana Vaksinologi dan Imunotherapeutika
Universitas Airlangga
3.1. Imunopatologi Alergi
Reaksi alergi terjadi melalui tahap-tahap aktivasi sel-sel imunokompeten, aktivasi sel-sel struktural, aktivasi dan recruitment sel-sel mast, eosinofil dan basofil, reaksi mediator dengan target organ dan tahap timbulnya gejala. Alergen yang berhasil masuk tubuh akan diproses oleh APC. Peptida alergen yang dipresentasikan oleh APC menginduksi aktivasi Limfosit T. Aktivasi Limfosit T oleh APC yang memproses alergen akan mengaktivasi Limfosit TH2 untuk memproduksi sitokin-sitokinnya (Kapsenberg ML, 2003). Kontrol specialized pattern recognition receptors (PRRs) yaitu Toll-like receptors (TLR) dari sel-sel dendritik (DCs) atas respons imun innate menentukan respons imun adaptif TH1, Treg atau TH2. Limfosit TH1 memproduksi IL-2, IFN-γ dan TNF-α, sedangkan Limfosit TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10, IL-13, dan GM-CSF. Limfosit TH yang baru diaktifkan alergen akan berfenotip TH2 (Oettgen HC and Geha RS, 2003).
Produksi sitokin TH2 terutama IL-4 akan mensupresi perkembangan TH1 dan produksi sitokin TH1 terutama TNF-α akan mensupresi perkembangan TH2 (Bashir, 2004). Bila sitokin yang dihasilkan Limfosit TH2 berinteraksi dengan Limfosit B, maka Limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Sitokin yang dihasilkan TH2 menstimulasi produksi sel mast, basofil dan eosinofil. (Borish L, 2003). Interaksi antara alergen, sel mast dan IgE menghasilkan degranulasi sel mast (Ashcroft RE, 2004).
Degranulasi sel mast melepaskan mediator histamin. Histamin yang dilepaskan sel mast ditangkap reseptor histamin di target organ. Bila terjadi interaksi histamin dengan reseptornya pada target organ, maka reaksi alergi akan terjadi (Roecken, 2003).
Reseptor H1-histamin mempunyai peran yang lebih luas dalam proses radang daripada sekedar mediator yang menyebabkan alergi (Togias A, 2003). Reseptor H2-histamin mempunyai peran dalam terjadinya rasa gatal dan nyeri pada kulit serta peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi perifer, sedangkan reseptor H3-histamin meningkatan pelepasan neurotransmitter seperti histamine, norepinephrine, asetilkolin, peptide dan 5-hidroksitriptamin (Roecken, 2003).
Gambar 1. Mekanisme alergi (Sumber: Hawrylowicz CM dan O’Garra A, 2005)
Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan alergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early (acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs).
Pada EAR, dalam beberapa menit kontak dengan alergen, sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.
Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi, termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins, eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5, IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi.
3.2. Peran Bakteri Asam Laktat Dalam Pencegahan Kasus Alergi
Pemberian bakteri asam laktat berperan dalam pencegahan alergi yang merupakan upaya perbaikan homoestasis sistem biologis penderita yang ditujukan pada imunomodulasi respon imun dengan menyeimbangkan respon imun Th1 dan Th2. Alergi merupakan bentuk “Th2-disease” yang upaya perbaikannya memerlukan
pengembalian host pada kondisi “Th1-Th2” yang seimbang. Bakteri asam laktat mampu mengkontrol mikro flora dan juga memiliki kemampuan sebagai aktivator yang kuat untuk sistem imun innate karena mempunyai molekul yang spesifik pada dinding selnya. Dalam mikrobiologi, molekul-molekul spesifik tersebut dikenal sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMPs). Molekul-molekul spesifik (PAMPs) dikenali oleh reseptor-reseptor spesifik (specific pattern recognition receptors, PRRs). Salah satu PAMPs yang ada pada bakteri asam laktat adalah lipoteichoic acid (LTA). LTA merupakan molekul yang secara biologis aktif, merupakan karakteristik dari bakteri gram positif dan mempunyai dampak biologis (misalnya dalam induksi produksi sitokin) yang sama dengan LPS (Miettinen M, 2001).
TLRs adalah PRRs (pattern recognition receptors) mamalia yang berfungsi sebagai sinyal transducer yang berhubungan dengan CD-14 untuk membantu sel host mengenali patogen serta melakukan inisiasi kaskade sinyal. TLRs juga membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif dengan menginduksi berbagai molekul efektor dan ko-stimulator (Miettinen M, 2001).
Semua TLRs mempunyai struktur yang sama dan mempunyai karakter menyalurkan sinyal melalui NF-B, AP-1, dan MAP kinases. Efektor hilir dari beberapa TLR, misalnya TLR2 dan TLR4, adalah adapter protein MyD88 yang berinteraksi dengan reseptor transmembran melalui domain C-terminal TIR.
MyD88 merekrut Ser/Thr kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk membentuk kompleks reseptor. IRAK berhubungan dengan molekul adapter TNF receptor associated factor (TRAF6). TRAF6 selanjutnya mengaktivasi MAP3K family member NIK (NF-kB-inducing kinase) yang akan mengaktivasi NF-kB inhibitor kinases (IKKs). Degradasi NF-kB inhibitor I-kB melepaskan NF-kB yang segera translokasi ke nukleus untuk menginduksi ekspresi gen yang sesuai (Zhang G, Ghosh S, 2001).
Pada tingkat molekul, sistem imun innate dipusatkan pada aktivasi dari NF-B, yang mempunyai kemampuan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin proinflamasi dalam merespon stimulasi oleh mikroba. Dalam perannya membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif TLR, mampu menginduksi respons imun baik ke arah TH1 maupun Treg. TLR-2 dan TLR-4 diketahui mempunyai peran penting dalam polarisasi respons imun oleh paparan mikroba (Iwasaki A, Medzhitov R, 2004; Supajatura 2002)
Jadi konsep bakteri asam laktat pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif dari respon imunologik yang dimulai dari sistim imun innate dan mengarah pada pengembalian host pada kondisi “Th1-Th2” yang seimbang.
Gambar 2 : Sinyal TLR 2 dan TLR 4 (Sumber : Takeda dan Akira, 2004).
Toll-like receptors (TLRs) membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif. TLRs adalah PRRs (pattern recognition receptors) mamalia yang berfungsi sebagai cluster of differentiation (CD)-14 associated signal transducers, yang membantu sel untuk mengenali patogen serta melakukan inisiasi kaskade sinyal. TLRs juga membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif dengan menginduksi berbagai molekul efektor dan ko-stimulator. Efektor hilir dari TLR2 dan TLR4 adalah adapter protein MyD88 yang berinteraksi dengan reseptor transmembran melalui domain C-terminal TIR.
MyD88 merekrut Ser/Thr kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk membentuk kompleks reseptor. IRAK berhubungan dengan adapter molecule TNF receptor associated factor (TRAF6). TRAF6, selanjutnya mengaktivasi MAP3K family member NIK (NF-kB-inducing kinase) yang akan mengaktivasi NF-kB inhibitor kinases (IKKs). Degradasi NF-kB inhibitor I-kB melepaskan NF-kB yang segera translokasi ke nukleus untuk menginduksi ekspresi gen yang sesuai.
Tabel 1. Kaitan Teori Imunologi dan Fakta Empirik Tentang Mekanisme Bakteri Asam Laktat Dalam Penurunan Reaksi Alergi.
Tahap dalam reaksi alergi Teori imunologi Fakta hasil penelitian mengenai bakteri asam laktat
Tahap aktivasi sel-sel imunokompeten (APC, DC, Sel T Naive) Sistem imun innate dipusatkan pada aktivasi NF-kB, (Zhang dan Ghosh, 2001).
TLR2 dan TLR 4 berperan dalam aktivasi NFkB. (Means, 2001,Matsuguchi, 2003 )
TLR 2 dan 4 berperan dalam peningkatan IFN-gama serta penurunan IL-4, IL13 dan eosinofil. (Revets et al, 2005) bakteri asam laktat menurunkan kemampuan agonist TLR dalam aktivasi NFkB (Me´nard, 2004)
TLR2 berperan dalam aktivasi NFkB oleh Lactobacillus (Matsuguchi, 2003)
Tahap aktivasi sel-sel struktural. (Th1,Th2 dan Treg.) Hampir semua TLR mengontrol induksi respons imun ke arah TH1. (Miettinen, 2000; Murch, 2000; Aderem et al, 2000)Sebagian besar TLR mengontrol aktivasi Limfosit TH1. (Matsuguchi, 2003).
TLR-2 mampu mengontrol aktivasi Limfosit TH2. (Umetsu et al, 2002; Baldini et al 1999; Eder et al 2004)
TLR-4 mengontrol optimalisasi aktivasi Limfosit TH2.(Dabbagh, 2003).
TLR-4 mampu mengaktivasi Limfosit TH1 dan Treg. (Drachenberg, 2003; Mothes, 2003). Bakteri asam laktat menginduksi Limfosit TH1 (Ghosh et al., 2004; Schon,1991; Lambrecht, 1998; Matsuzaki, 2000).
Bakteri asam laktat menginduksi Limfosit Treg (von der Weid, 2001; Prioult, 2003; Murch,2000; Newberry, 1999; Isolauri,2000).
Bakteri asam laktat menginduksi Limfosit TH1 dan Treg melalui reseptor di APC. (Hart, 2004; Christensen, 2002; Miettinen,1998; Matsuguchi, 2003; Miettinen, 2000; Murch, 2000; Aderem et al, 2000).
Bakteri asam laktat meningkatkan IFN, IL-12, TGF-dan IL-10, serta menurunkan IL-4 dan IL-5 (Von der Weid T, 2001)
Lactobacillus paracasei (NCC 2461), Lactobacillus johnsonii (NCC 533) and Bifidobacterium lactis Bb12 (NCC 362) pada mencit yang disensitisasi BLG, menurunkan IgE, IgG1 dan IgG2a (Prioult et al, 2003)Bakteri asam laktat LGG motif TTTCGTTT oligodeoxy- nucleotida (ODN) 135 meningkatkan mRNA IL-12 dan mRNA IFNgama (Iliev ID, 2004)
Dari ekstrapolasi dan sintesis atas fakta-fakta ilmiah yang telah dihasilkan oleh penelitian sebelumnya, baik pada manusia maupun hewan, menunjukkan bahwa pemberian bakteri asam laktat dapat menurunkan reaksi alergi melalui aktivasi TLR2 dan TLR4 serta respon imun adaptif yang diaktifkan TLR2 otonom dari regulasi Treg, sedangkan yang diaktifkan TLR4 tidak.
Sabtu, 06 Februari 2010
DETECTION OF H5N1 AVIAN INFLUENZA ANTIBODY ON STRAY CATS (Felis silvestris catus) IN SEMARANG AREA
Rivi Dwiyanto1), Rio Aditya Kurniawan1), Reviany V.Nidom2), Muhamad Yusuf2), Chairul A. Nidom. 2,3,4)*).
1) Veterinary Medicine Faculty - Airlangga University; 2) Avian Influenza Laboratory - Tropical Disease Center;3) KKR4-Komnas FBPI; 4)Poultry Disease Center- Veterinary Medicine Faculty AirlanggaUniversity Surabaya
*) Email : nidomca@unair.ac.id
ABSTRACT
The aim of this study was to detect the presence of Avian Influenza antibody subtype H5N1 on stray cats (Felis silvestris catus) in several places in Semarang such as Johar, Bandarejo, Babatan, Bitingan dan Kobong traditional markets. The samples for HI test were collected from sera of stray cats that have been added RDE (Reseptor Destroying enzyme) (3:1). HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by hemagglutination on the base of microplate’s wells. The result showed that from 30 samples, there were 10 samples that had Avian Influenza antibody subtype H5N1. The percentage of the presence of Avian Influenza antibody subtype H5N1 was 33,33%.
Keys words: Avian Influenza, antibody, stray cats
1) Veterinary Medicine Faculty - Airlangga University; 2) Avian Influenza Laboratory - Tropical Disease Center;3) KKR4-Komnas FBPI; 4)Poultry Disease Center- Veterinary Medicine Faculty AirlanggaUniversity Surabaya
*) Email : nidomca@unair.ac.id
ABSTRACT
The aim of this study was to detect the presence of Avian Influenza antibody subtype H5N1 on stray cats (Felis silvestris catus) in several places in Semarang such as Johar, Bandarejo, Babatan, Bitingan dan Kobong traditional markets. The samples for HI test were collected from sera of stray cats that have been added RDE (Reseptor Destroying enzyme) (3:1). HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by hemagglutination on the base of microplate’s wells. The result showed that from 30 samples, there were 10 samples that had Avian Influenza antibody subtype H5N1. The percentage of the presence of Avian Influenza antibody subtype H5N1 was 33,33%.
Keys words: Avian Influenza, antibody, stray cats
ANALYSIS COMPARATION OF HI TITER AVIAN INFLUENZA VIRUSES SUBTYPE H5 IN PIGS SERA BY USING PIG RED BLOOD CELL
Rio Aditya Kurniawan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia
ABSTRACT
The aim of this study was to know and compare HI titer of Avian Influenza viruses subtype H5 in pigs sera by using pig RBC (Red Blood Cell). The samples for HI test were collected from sera of pigs in Surabaya abattoir that have been added RDE (Receptor Destroying Enzyme) 3:1. HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by haemagglutination on the base of microplate’s wells. The concentration of pig RBC which was used in these study were 0,125%; 0,25%; 0,375%; 0,5%; 0,625%; 0,75%; 0,875%; 1% and 0,5% chicken RBC The result showed that pig RBC with 0,875% concentration were the highest HI titer than the others.
Key words: Avian Influenza, HI titer, pigs sera
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia
ABSTRACT
The aim of this study was to know and compare HI titer of Avian Influenza viruses subtype H5 in pigs sera by using pig RBC (Red Blood Cell). The samples for HI test were collected from sera of pigs in Surabaya abattoir that have been added RDE (Receptor Destroying Enzyme) 3:1. HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by haemagglutination on the base of microplate’s wells. The concentration of pig RBC which was used in these study were 0,125%; 0,25%; 0,375%; 0,5%; 0,625%; 0,75%; 0,875%; 1% and 0,5% chicken RBC The result showed that pig RBC with 0,875% concentration were the highest HI titer than the others.
Key words: Avian Influenza, HI titer, pigs sera
ANALYSIS COMPARATION OF HI TITER AVIAN INFLUENZA VIRUSES SUBTYPE H5 IN PIGS SERA BY USING PIG RED BLOOD CELL
Rio Aditya Kurniawan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia
ABSTRACT
The aim of this study was to know and compare HI titer of Avian Influenza viruses subtype H5 in pigs sera by using pig RBC (Red Blood Cell). The samples for HI test were collected from sera of pigs in Surabaya abattoir that have been added RDE (Receptor Destroying Enzyme) 3:1. HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by haemagglutination on the base of microplate’s wells. The concentration of pig RBC which was used in these study were 0,125%; 0,25%; 0,375%; 0,5%; 0,625%; 0,75%; 0,875%; 1% and 0,5% chicken RBC The result showed that pig RBC with 0,875% concentration were the highest HI titer than the others.
Key words: Avian Influenza, HI titer, pigs sera
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia
ABSTRACT
The aim of this study was to know and compare HI titer of Avian Influenza viruses subtype H5 in pigs sera by using pig RBC (Red Blood Cell). The samples for HI test were collected from sera of pigs in Surabaya abattoir that have been added RDE (Receptor Destroying Enzyme) 3:1. HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by haemagglutination on the base of microplate’s wells. The concentration of pig RBC which was used in these study were 0,125%; 0,25%; 0,375%; 0,5%; 0,625%; 0,75%; 0,875%; 1% and 0,5% chicken RBC The result showed that pig RBC with 0,875% concentration were the highest HI titer than the others.
Key words: Avian Influenza, HI titer, pigs sera
Langganan:
Komentar (Atom)