Saat inti atom bertabrakan dengan energi yang belum pernah terjadi di Large Hadron Collider, para fisikawan berharap menciptakan partikel eksotis dan materi berlimpah, yang pertama kali membentuk jagat raya.
Partikel yang mereka cari adalah Boson Higgs, atau partikel Tuhan.
Inilah bukti yang hilang dalam teori yang menjelaskan karakteristik jagat raya: bagaimana partikel dasar memeroleh massa.
Pembentukan proton
1. Proton bertabrakan
2. Partikel Higgs
3. Bukti keberadaan Higgs
Berikutnya: Batas luar Higgs
Pembentukan proton
Proton, Quark, Gluon. Proton tersusun atas partikel-partikel yang lebih kecil: Tiga quarks terikat oleh gluon raksasa.
Proton bertabrakan
Triliunan proton berdesakan menuju tumbukan pada 99,9999991 persen kecepatan cahaya. Quark dan gluon di dalam proton bertumbukan, meledak dengan energi yang cukup untuk menciptakan Higgs yang sukar ditangkap.
Mungkin 100 hingga 200 kali massa proton, partikel Higgs tidak stabil: dia akan bertahan kurang dari satu per sejuta miliar miliar detik sebelum hancur menjadi butiran-butiran partikel.
Tanda keberhasilan
Bukti akan Higgs akan ditemukan di dalam spiral pengungkap rahasia dan lapisan kiri di detektor LHC oleh partikel yang terbentuk saat Higgs terpecah.
Di belakang Higgs
Mengapa ada sesuatu? Secara teoretis, ledakan besar mestinya menghasilkan materi dan anti-materi dengan jumlah sama besar yang saling menghancurkan satu sama lain, meninggalkan alam semesta yang kosong. Jadi mengapa alam semesta kita hampir semuanya berupa materi? Pergerakan galaksi terpencil dan supernova menunjukkan bahwa ekspansi semesta yang gelap memiliki materi yang lebih besar dibandingkan yang kita lihat pada semua bintang dan galaksi. LHC dapat melepaskan cahaya pada materi gelap dan energi gelap ini.
Cari Blog Ini
Minggu, 15 Agustus 2010
Rabu, 12 Mei 2010
New Genes Involved in Human Eye Color Identified

Three new genetic loci have been identified with involvement in subtle and quantitative variation of human eye color.
The study, led by Manfred Kayser of the Erasmus University Medical Center Rotterdam, The Netherlands, is published May 6 in the open-access journal PLoS Genetics.
Previous studies on the genetics of human eye color used broadly-categorized trait information such as 'blue', 'green', and 'brown'; however, variation in eye color exists in a continuous grading from the lightest blue to the darkest brown.
In this genome-wide association study, the eye color of about 6000 Dutch Europeans from the Rotterdam Study was digitally quantified using high-resolution full-eye photographs. This quantitative approach, which is cost-effective, portable, and time efficient, revealed that human eye color varies along more dimensions than are represented by the color categories used previously.
The researchers identified three new loci significantly associated with quantitative eye color. One of these, the LYST gene, was previously considered a pigmentation gene in mice and cattle, whereas the other two had no previous association with pigmentation.
These three genes, together with previously identified ones, explained over 50% of eye color variance, representing the highest accuracy achieved so far in genomic prediction of complex and quantitative human traits.
"These findings are also of relevance for future forensic applications," said Kayser, "where appearance prediction from biological material found at crime scenes may provide investigative leads to trace unknown persons."
Bayi Dengan Tiga Orang Tua Biologis

Bayi pertama dengan tiga orangtua biologis akan segera ada dalam waktu kurang dari tiga tahun setelah sukses riset untuk mencegah pewarisan penyakit mematikan.
Ilmuwan di Universitas Newcastle telah menumbuhkan embrio manusia setelah menggabungkan DNA dari dua telur dibuahi dengan teknik yang bisa mencegah penyimpangan genetika serius.
Prosedur itu didesain untuk membenahi ‘baterai sel’ cacat yang disebut mitokondria yang bisa menyebabkan penyakit fatal pada jantung, hati, syaraf dan otot dengan menggantikan dengan versi sehat dari embrio donor.
Seorang anak yang mengalami gangguan seperti itu bisa memperoleh warisan materi genetika dari tiga orang tua.
Ayah dan ibunya akan menyuplai 99,8% DNA, tetapi sejumlah kecil akan datang dari wanita kedua, yakni pendonor mitokondria, karena Mitokondria mengandung DNA.
Doug Turnbull yang memimpin riset mengatakan bahwa cara tersebut akan menolong keluarga dari risiko penyakit mitokondria untuk mendapatkan anak sehat, meskipun studi lebih lanjut masih dibutuhkan untuk menunjukkan efektivitas dan keamanan yang dibutuhkan.
Halangan regulasi juga harus diatasi. Di Inggris masih ilegal menempatkan embrio buatan di dalam kandungan wanita, tetapi Menteri Kesehatan Inggris memiliki kekuatan untuk mencabut larangan dengan legislasi baru
Bahtera Nabi Nuh Diklaim Telah Ditemukan
Peneliti secara sensasional mengklaim telah menemukan sisa-sisa bahtera Nuh di puncak gunung Turki setinggi 13 ribu kaki. Apakah klaim ini benar?.
Grup ini mengklaim unsur karbon yang terkandung telah membuktikan bahwa peninggalan ini berusia 4.800 tahun, sama dengan waktu ketika kapal itu diceritakan mengapung.
Gunung Ararat telah lama diperkirakan sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi kapal itu oleh ahli literatur berdasarkan kitab suci.
Yeung Wing-Cheung, dari tim peneliti Noah’s Ark Ministries International yang mendapatkan penemuan itu mengatakan “Ini memang bukan 100 persen kapal Nuh, namun kami berpikir 99,9 persen bahwa ini benar.”
Telah ada beberapa laporan penemuan kapal Nuh selama bertahun-tahun, terutama penemuan dari arkeolog Ron Wyatt pada 1987. Pada saat itu, pemerintah Turki secara resmi mengumumkan taman nasional di sekitar tempat penemuan berupa benda dengan potongan mirip kapal yang membentang di sepanjang gunung Ararat.
Namun demikian, penemuan terbaru ini diyakini merupakan artefak yang sebenarnya, berdasarkan peneliti asal Belanda, Gerrit Aalten yang dipanggil untuk ditanyai keabsahan penelitian ini.
“Signifikasi penelitian ini ialah yang pertama dalam sejarah dari penemuan kapal Nuh yang berhasil di dokumentasikan dan diungkapkan kepada masyarakat luas,” ujar Aalten.
Ia juga banyak mengutip rincian yang dicocokkan dengan sejarah dan dipercaya bahwa ini penemuan arkeologi yang sebenarnya.“Ada sejumlah bukti dari struktur benda yang ditemukan di Gunung Ararat sebelah timur Turki, sebagai bahtera Nuh yang legendaris,” ujar Aaltern.
Perwakilan dari pihak Noah’s Ark Ministries mengatakan bahwa struktur benda ini memiliki beberapa kompartemen, beberapa dengan kayu balok yang dipercaya sebagai tempat tinggal bagi hewan. Kelompok arkeolog mengesampingkan pemukiman penduduk yang ditemukan sekitar 11 ribu kaki sekiatarnya, ujar Yeung.
Selama konferensi pers, anggota tim Panda Lee menggambarkan lokasi situs tersebut. “Di Oktober 2008, saya mendaki gunung dengan tim Turki di ketinggian lebih dari 4 ribu meter, saya melihat struktur bangunan yang dibentuk mirip papan kay, setiap kayu memiliki lebar 8 inci. Saya dapat melihat sambungan kayu, di mana merupakan bukti kuno soal penggunaan paku logam.”
“Kami kemudian berjalan sekitar 100 meter di tempat lain. Saya melihat potongan fragmen kayu yang tertanam di gletser dan beberapa sepanjang 20 meter. Saya mengamati landscape dan menemukan struktur kayu yang permanen tertutup es dan batuan vulkanik.
”Pejabat lokal Turki akan meminta pemerintah pusat di Ankara untuk mengajukan status Warisan Dunia UNESCO sehingga situs ini dapat dilindungi sementara penggalian arkeologi utama dilakukan”.
Grup ini mengklaim unsur karbon yang terkandung telah membuktikan bahwa peninggalan ini berusia 4.800 tahun, sama dengan waktu ketika kapal itu diceritakan mengapung.
Gunung Ararat telah lama diperkirakan sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi kapal itu oleh ahli literatur berdasarkan kitab suci.
Yeung Wing-Cheung, dari tim peneliti Noah’s Ark Ministries International yang mendapatkan penemuan itu mengatakan “Ini memang bukan 100 persen kapal Nuh, namun kami berpikir 99,9 persen bahwa ini benar.”
Telah ada beberapa laporan penemuan kapal Nuh selama bertahun-tahun, terutama penemuan dari arkeolog Ron Wyatt pada 1987. Pada saat itu, pemerintah Turki secara resmi mengumumkan taman nasional di sekitar tempat penemuan berupa benda dengan potongan mirip kapal yang membentang di sepanjang gunung Ararat.
Namun demikian, penemuan terbaru ini diyakini merupakan artefak yang sebenarnya, berdasarkan peneliti asal Belanda, Gerrit Aalten yang dipanggil untuk ditanyai keabsahan penelitian ini.
“Signifikasi penelitian ini ialah yang pertama dalam sejarah dari penemuan kapal Nuh yang berhasil di dokumentasikan dan diungkapkan kepada masyarakat luas,” ujar Aalten.
Ia juga banyak mengutip rincian yang dicocokkan dengan sejarah dan dipercaya bahwa ini penemuan arkeologi yang sebenarnya.“Ada sejumlah bukti dari struktur benda yang ditemukan di Gunung Ararat sebelah timur Turki, sebagai bahtera Nuh yang legendaris,” ujar Aaltern.
Perwakilan dari pihak Noah’s Ark Ministries mengatakan bahwa struktur benda ini memiliki beberapa kompartemen, beberapa dengan kayu balok yang dipercaya sebagai tempat tinggal bagi hewan. Kelompok arkeolog mengesampingkan pemukiman penduduk yang ditemukan sekitar 11 ribu kaki sekiatarnya, ujar Yeung.
Selama konferensi pers, anggota tim Panda Lee menggambarkan lokasi situs tersebut. “Di Oktober 2008, saya mendaki gunung dengan tim Turki di ketinggian lebih dari 4 ribu meter, saya melihat struktur bangunan yang dibentuk mirip papan kay, setiap kayu memiliki lebar 8 inci. Saya dapat melihat sambungan kayu, di mana merupakan bukti kuno soal penggunaan paku logam.”
“Kami kemudian berjalan sekitar 100 meter di tempat lain. Saya melihat potongan fragmen kayu yang tertanam di gletser dan beberapa sepanjang 20 meter. Saya mengamati landscape dan menemukan struktur kayu yang permanen tertutup es dan batuan vulkanik.
”Pejabat lokal Turki akan meminta pemerintah pusat di Ankara untuk mengajukan status Warisan Dunia UNESCO sehingga situs ini dapat dilindungi sementara penggalian arkeologi utama dilakukan”.
Inbreeding May Have Caused Darwin Family Ills, Study Suggests

New research suggests that Charles Darwin's family was a living human example of a theory that he developed about plants: that inbreeding could negatively affect the health and number of resulting offspring.
Darwin was married to his first cousin, Emma Wedgwood. They had 10 children, but three died before age 10, two from infectious diseases. And three of the six surviving children with long-term marriages did not produce any offspring -- a "suspicious" sign, researchers say, that these Darwins could have had reproductive problems because of their lineage.
Studies have shown that susceptibility to infectious disease and unexplained infertility are risk factors of consanguineous marriage -- unions of people related by birth.
Scientists at Ohio State University and in Spain traced the genealogy of the Darwin and Wedgwood families for four generations. Darwin's mother and grandfather also were Wedgwoods, and his mother's parents were third cousins.
The researchers used these data to run calculations in a specialized computer program to determine what is called an "inbreeding coefficient," or the probability that an individual received two identical copies of a gene resulting from marriages among relatives.
The analysis showed a positive association between child mortality and the inbreeding coefficient for Charles Darwin's children and others in the Darwin/Wedgwood families, suggesting that matching damaging genetic traits from the blood-relative parents could have influenced the health of the offspring.
Darwin authored three botanical books showing that cross-fertilization was much more beneficial than self-fertilization for maintaining robust and plentiful plant species. He began to worry about the effects of Darwin-Wedgwood inbreeding on his own family after the death of his daughter, Annie, of tuberculosis at age 10 -- the second of his children to die young.
"He fretted that the ill health of his children might be due to the nature of the marriage, and he came to that because of his work on plants. He realized that with breeding of any kind, it's better to cross-breed than to put close relatives together," said Tim Berra, lead author of the study and professor emeritus of evolution, ecology and organismal biology at Ohio State's Mansfield campus.
"We conclude that it may well be that he had some justification for his worry about his offspring. But it's not all genetic doom and gloom -- three of his sons were so prominent that they were knighted by Queen Victoria for their achievements."
The research is published in the current issue of the journalBioScience.
Berra became aware of Darwin's pedigree and the famous scientist's related worries about his children's health as he conducted research for a recent biography, Charles Darwin: The Concise Story of an Extraordinary Man (2009, Johns Hopkins University Press).
Darwin himself was sickly, and contemporary researchers have theorized that he suffered from Chagas disease inflicted by insects in South America during his voyage on the HMS Beagle.
He obsessively logged information about his own health, which may have influenced his interest in his children's health, Berra said. But he also recognized from his botanical research that the long tradition of intermarriage between the Darwins and the Wedgwoods -- a common practice among prominent families in Victorian England -- might have had the unintended consequence of harming the health of his children.
Darwin's third child, Mary Eleanor, lived for only 23 days and died in 1842 of an unknown cause. Annie, his first daughter and second child, died in 1851, and his last child, Charles Waring, died at 18 months of scarlet fever in 1858.
Shortly after he completed the book, Berra's co-authors on this paper, Gonzalo Alvarez and Francisco Ceballos of the Universidad de Santiago de Compostela, published a genetics study detailing how inbreeding led to the extinction of the Spanish Habsburg dynasty. The group then teamed to conduct a similar analysis of the effects of the Darwin-Wedgwood connections.
The researchers traced 25 families among four generations of the Darwin-Wedgwood dynasty, which included a number of consanguineous marriages. The families had 176 children, 21 of whom died before age 10.
They then entered the data into a computer program that documented gene flow across the generations and calculated the inbreeding coefficient for these families. The resulting number represents the probability that within one's genetic code, an individual receives two genes identical by descent as a result of the common ancestry of his or her parents.
Darwin's children had an inbreeding coefficient of 0.0630, meaning that there is a 6.3 percent chance that identical copies of a given gene will come from each parent. This figure is nearly identical to the already-known 6.25 percent chance that offspring of first-cousin marriages will experience the same genetic effect.
That means if both the mother and father have a deleterious allele -- an allele is an alternate expression of a gene -- there is a 6 percent chance that offspring will receive both of those deleterious alleles and the related damaging effects will occur. Statistically, this translates into a roughly 2 percent chance that the children of first cousins will develop a congenital defect, Berra noted -- roughly the same order of difference in risks between a 30-year-old woman and a 41-year-old woman giving birth.
Darwin was concerned that his own ill health had been inherited by his children, though that was unlikely because he probably suffered from a parasitic disease rather than a genetic defect, Berra noted.
Instead, Berra and his colleagues suggest that Darwin's offspring might have had a higher chance of succumbing to such illnesses as TB and scarlet fever -- the cause of the children's deaths. Previous research has suggested that one consequence of inbreeding could be a higher susceptibility to infectious diseases.
Darwin didn't know about human genes, but he was such a good scientist, Berra said, that he was ahead of his time in linking his finding in plants to his own family.
"He was the one who developed this concept of inbreeding depression -- a reduction in offspring -- and therefore had enough information to begin to wonder about his own marriage and his children's health," Berra said.
The apparent infertility of three of the six surviving Darwin children will remain a mystery, Berra said. But population studies have suggested that statistically, offspring of consanguineous marriages are at higher risk for infertility.
"We can't really say they didn't leave offspring because they were the product of a cousin marriage. On the other hand, being the product of cousin marriage does have this infertility component. So one of six, you wouldn't worry. Two, there seems to be a chance this is the reason. Three out of six didn't leave offspring, so that's a fairly strong possibility," Berra said.
(Sumber. 1. Tim M. Berra, Gonzalo Alvarez, and Francisco C. Ceballos.Was the Darwin/Wedgwood Dynasty Adversely Affected by Consanguinity? BioScience, 2010; 60 (5): 376 DOI: 10.1525/bio.2010.60.5.7)
Mendeteksi Makanan Mengandung Babi atau Tidak
Pengusaha restoran di Kazakhstan sering kali mencampurkan daging babi pada masakannya agar menjadi lebih murah. Padahal, penduduk Kazakhstan sebagian besar Muslim.
Praktik para pengusaha restoran ini akan berkurang beberapa saat lagi. Pasalnya, para ilmuwan di Almaty, ibu kota Kazakhstan, telah menemukan sebuah alat untuk mendeteksi apakah sepiring makanan mengandung babi atau tidak.
Alat itu berupa batang plastik pendek yang dapat mendeteksi apakah makanan itu mengandung molekul yang hanya terdapat di dalam tubuh babi atau tidak. Caranya mudah. Masukkan saja sedikit daging ke dalam air, aduk, dan tunggu satu hingga dua menit, lalu masukkan batang plastik itu. Tidak lama, warna dalam batang plastik itu akan berubah, mengindikasikan apakah masakan itu mengandung babi atau tidak (sumber. kompas)
Praktik para pengusaha restoran ini akan berkurang beberapa saat lagi. Pasalnya, para ilmuwan di Almaty, ibu kota Kazakhstan, telah menemukan sebuah alat untuk mendeteksi apakah sepiring makanan mengandung babi atau tidak.
Alat itu berupa batang plastik pendek yang dapat mendeteksi apakah makanan itu mengandung molekul yang hanya terdapat di dalam tubuh babi atau tidak. Caranya mudah. Masukkan saja sedikit daging ke dalam air, aduk, dan tunggu satu hingga dua menit, lalu masukkan batang plastik itu. Tidak lama, warna dalam batang plastik itu akan berubah, mengindikasikan apakah masakan itu mengandung babi atau tidak (sumber. kompas)
Identifikasi, Karakterisasi dan Morfologi KHV
Identifikasi dan Karakterisasi
Berdasarkan isolasi virus dengan menggunakan galur sel sirip koi (KF-1) yang identik dengan virus yang ditemukan pada jaringan ikan yang terinfeksi, Hedrick dan koleganya telah menyebut virus ini sebagai Koi Herpesvirus (KHV) (Gilad, et al., 2002). Namun dengan menggunakan genome virus yang diisolasi telah ditemukan virus ini memiliki DNA viral yang sangat berbeda dan molekul DNA untai ganda (dsDNA) sebesar 270-290 kbp (Hutoran, et al., 2005) yang menunjukkan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan herpesvirus lain yang sudah diketahui yaitu 120-240 kbp (McGeoch, et al., 2000).
Dengan karakteristik yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh famili herpesvirus dan berdasarkan pathobiologi penyakit ini pada ikan mas dengan menggunakan immunohistokimia, virus ini disebut juga sebagai Carp Interstitial Nephritis and Gill Necrosis Virus (CNGV) (Dishon, et al., 2002, Pikarsky, et al., 2004). Penentuan kedekatan virus ini dengan menggunakan analisis sequence dibandingkan dengan tiga famili herpesviridae yaitu pox herpesvirus ikan mas (Cyprinid herpesvirus 1, CyHV-1), haematopoietic necrosis herpesvirus ikan mas koki (Cyprinid herpesvirus 2, CyHV-2) dan channel catfish virus (Ictalurid herpesvirus 1, IcHV-1), telah menunjukkan virus ini berkerabat dengan dengan CyHV-1 dan CyHV2 dan diusulkan dengan nama Cyprinid herpesvirus 3 (CyHV-3) (Waltzek, et al., 2005). Virus ini juga diusulkan untuk dikelompokkan bersama herpesvirus akuatik lainnya sebagai alloherpesviridae (Ilouze, et al., 2006b) diluar famili herpesviridae klasik yang sudah dikenal memiliki tiga subfamili Alpha-, Beta-, dan Gammaherpesvirinae (McGeoch, et al., 2000). Namun demikian secara umum, virus ini telah lebih dikenal sebagai KHV seperti penamaan pertama kalinya.
Ilouze, et al. (2006a) menyebutkan KHV telah dapat dikonfirmasi sebagai agen penyebab penyakit masal yang menyebabkan kematian pada ikan mas dan koi berdasarkan pada data, sebagai berikut: 1) virus dapat diisolasi dari ikan yang sakit dan tidak dari ikan yang sehat (naive specimen), 2) inokulasi virus yang ditumbuhkan pada media sel sirip koi (KFC) dan menyebabkan sakit yang sama pada naive specimen, 3) ko-kultivasi sel ginjal dari spesimen yang diinduksi penyakit dapat menghasilkan virus yang sama ketika ditumbuhkan pada media KFC, 4) transfer virus dari ikan sakit ke media kultur sirip ikan mas (CFC) dalam tiga siklus dapat dilakukan, 5) isolasi virus yang diklon pada kultur jaringan dapat menginduksi penyakit yang sama pada ikan, 6) sera kelinci yang dibuat untuk melawan virus yang dimurnikan dapat berinteraksi secara spesifik dengan jaringan yang berasal baik dari ikan yang diinfeksi pada eksperimen ataupun dari ikan sakit dari kolam, dan 7) DNA viral telah didentifikasi pada KFC yang dinfeksi dan pada ikan sakit tetapi tidak dari ikan sehat. Identifikasi awal KHV ini telah memudahkan diagnosis penyakit dengan infeksi KFC, PCR dan metode immunologi (Ilouze, et al., 2006a).
KHV memiliki 31 polipeptida virion dimana 12 diantaranya memiliki berat molekul yang sama dengan herpesvirus cyprini (CHV) dan 10 virion sama dengan channel catfish virus (CCV) (Gilad, et al., 2002). Genom KHV adalah molekul linear dsDNA dengan ukuran sekitar 270-290 kbp dan berbeda dibandingkan dengan herpesvirus lain yang sudah diketahui, diantaranya vaccinia virus (sekitar 185 kbp) dan herpes simplex virus type 1 (sekitar 150 kbp) (Hutoran, et al., 2005). Waltzek, et al. (2005) telah menunjukkan sekuen asam amino KHV pada gen DNA helicase (GenBank accession no. AY939857), intercapsomeric triplex (GenBank accession no. AY939859), DNA polymerase (GenBank accession no. AY939862) dan major capsid protein (GenBank accession no. AY939864).
KHV memiliki dua gen yang belum pernah didapatkan pada genome anggota herpesviridae, yaitu: thymidylate kinase (TmpK), serine protease inhibitor (Ilouze, et al., 2006a), dan menghasilkan sekurangnya empat gen yang mengkode protein yang sama dengan yang diekspresikan oleh virus pox, yaitu: thymidylate kinase (TmpK), ribonucleotide reductase (RNR), thymidine kinase (TK) dan B22R-like gene (Ilouze, et al., 2006b). Sekuen TK telah diisolasi dan dikembangkan untuk analisis PCR dan dapat mengamplifikasi fragmen template DNA KHV pada 409 bp dan tidak dapat mengamplifikasi fragment template CCV, CHV ataupun galur sel KF-1 (Bercovier, et al., 2005).
Morfologi
KHV memiliki ukuran diameter 170-230 nm (Haramoto, et al., 2007), sedangkan inti virus berukuran 100-110 nm dengan bentuk icohedral (Hutoran, et al., 2005). Partikel inti ditemukan juga berbentuk circular atau poligonal dengan diameter 78-84 nm dan ekstraseluler virus terbungkus sebagai virion matang dengan diameter sekitar 133 nm (Choi, et al., 2004). Hasil pemotongan tipis pellet virus yang telah dimurnikan menunjukkan adanya partikel yang terbungkus dengan struktur seperti benang pada permukaan inti (Hutoran, et al., 2005). Antara pembungkus dengan nucleocapsid dipisahkan oleh celah electron-lucen sekitar 10 nm (Choi, et al., 2004). KHV juga berisi daerah padat-elektron asimetrik yang relatif kecil di dalam inti viral yang kemungkinan merupakan DNA genomik dan kompleks nucleoprotein (Hutoran, et al., 2005). Virus ini memiliki kepadatan bouyant sebesar 1.16 g/ml (Ilouze, et al., 2006a) dapat dipurifikasi menggunakan sentrifugasi pada gradient sukrosa dengan pita 37-39% sukrosa (Hutoran, et al., 2005).
Berdasarkan isolasi virus dengan menggunakan galur sel sirip koi (KF-1) yang identik dengan virus yang ditemukan pada jaringan ikan yang terinfeksi, Hedrick dan koleganya telah menyebut virus ini sebagai Koi Herpesvirus (KHV) (Gilad, et al., 2002). Namun dengan menggunakan genome virus yang diisolasi telah ditemukan virus ini memiliki DNA viral yang sangat berbeda dan molekul DNA untai ganda (dsDNA) sebesar 270-290 kbp (Hutoran, et al., 2005) yang menunjukkan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan herpesvirus lain yang sudah diketahui yaitu 120-240 kbp (McGeoch, et al., 2000).
Dengan karakteristik yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh famili herpesvirus dan berdasarkan pathobiologi penyakit ini pada ikan mas dengan menggunakan immunohistokimia, virus ini disebut juga sebagai Carp Interstitial Nephritis and Gill Necrosis Virus (CNGV) (Dishon, et al., 2002, Pikarsky, et al., 2004). Penentuan kedekatan virus ini dengan menggunakan analisis sequence dibandingkan dengan tiga famili herpesviridae yaitu pox herpesvirus ikan mas (Cyprinid herpesvirus 1, CyHV-1), haematopoietic necrosis herpesvirus ikan mas koki (Cyprinid herpesvirus 2, CyHV-2) dan channel catfish virus (Ictalurid herpesvirus 1, IcHV-1), telah menunjukkan virus ini berkerabat dengan dengan CyHV-1 dan CyHV2 dan diusulkan dengan nama Cyprinid herpesvirus 3 (CyHV-3) (Waltzek, et al., 2005). Virus ini juga diusulkan untuk dikelompokkan bersama herpesvirus akuatik lainnya sebagai alloherpesviridae (Ilouze, et al., 2006b) diluar famili herpesviridae klasik yang sudah dikenal memiliki tiga subfamili Alpha-, Beta-, dan Gammaherpesvirinae (McGeoch, et al., 2000). Namun demikian secara umum, virus ini telah lebih dikenal sebagai KHV seperti penamaan pertama kalinya.
Ilouze, et al. (2006a) menyebutkan KHV telah dapat dikonfirmasi sebagai agen penyebab penyakit masal yang menyebabkan kematian pada ikan mas dan koi berdasarkan pada data, sebagai berikut: 1) virus dapat diisolasi dari ikan yang sakit dan tidak dari ikan yang sehat (naive specimen), 2) inokulasi virus yang ditumbuhkan pada media sel sirip koi (KFC) dan menyebabkan sakit yang sama pada naive specimen, 3) ko-kultivasi sel ginjal dari spesimen yang diinduksi penyakit dapat menghasilkan virus yang sama ketika ditumbuhkan pada media KFC, 4) transfer virus dari ikan sakit ke media kultur sirip ikan mas (CFC) dalam tiga siklus dapat dilakukan, 5) isolasi virus yang diklon pada kultur jaringan dapat menginduksi penyakit yang sama pada ikan, 6) sera kelinci yang dibuat untuk melawan virus yang dimurnikan dapat berinteraksi secara spesifik dengan jaringan yang berasal baik dari ikan yang diinfeksi pada eksperimen ataupun dari ikan sakit dari kolam, dan 7) DNA viral telah didentifikasi pada KFC yang dinfeksi dan pada ikan sakit tetapi tidak dari ikan sehat. Identifikasi awal KHV ini telah memudahkan diagnosis penyakit dengan infeksi KFC, PCR dan metode immunologi (Ilouze, et al., 2006a).
KHV memiliki 31 polipeptida virion dimana 12 diantaranya memiliki berat molekul yang sama dengan herpesvirus cyprini (CHV) dan 10 virion sama dengan channel catfish virus (CCV) (Gilad, et al., 2002). Genom KHV adalah molekul linear dsDNA dengan ukuran sekitar 270-290 kbp dan berbeda dibandingkan dengan herpesvirus lain yang sudah diketahui, diantaranya vaccinia virus (sekitar 185 kbp) dan herpes simplex virus type 1 (sekitar 150 kbp) (Hutoran, et al., 2005). Waltzek, et al. (2005) telah menunjukkan sekuen asam amino KHV pada gen DNA helicase (GenBank accession no. AY939857), intercapsomeric triplex (GenBank accession no. AY939859), DNA polymerase (GenBank accession no. AY939862) dan major capsid protein (GenBank accession no. AY939864).
KHV memiliki dua gen yang belum pernah didapatkan pada genome anggota herpesviridae, yaitu: thymidylate kinase (TmpK), serine protease inhibitor (Ilouze, et al., 2006a), dan menghasilkan sekurangnya empat gen yang mengkode protein yang sama dengan yang diekspresikan oleh virus pox, yaitu: thymidylate kinase (TmpK), ribonucleotide reductase (RNR), thymidine kinase (TK) dan B22R-like gene (Ilouze, et al., 2006b). Sekuen TK telah diisolasi dan dikembangkan untuk analisis PCR dan dapat mengamplifikasi fragmen template DNA KHV pada 409 bp dan tidak dapat mengamplifikasi fragment template CCV, CHV ataupun galur sel KF-1 (Bercovier, et al., 2005).
Morfologi
KHV memiliki ukuran diameter 170-230 nm (Haramoto, et al., 2007), sedangkan inti virus berukuran 100-110 nm dengan bentuk icohedral (Hutoran, et al., 2005). Partikel inti ditemukan juga berbentuk circular atau poligonal dengan diameter 78-84 nm dan ekstraseluler virus terbungkus sebagai virion matang dengan diameter sekitar 133 nm (Choi, et al., 2004). Hasil pemotongan tipis pellet virus yang telah dimurnikan menunjukkan adanya partikel yang terbungkus dengan struktur seperti benang pada permukaan inti (Hutoran, et al., 2005). Antara pembungkus dengan nucleocapsid dipisahkan oleh celah electron-lucen sekitar 10 nm (Choi, et al., 2004). KHV juga berisi daerah padat-elektron asimetrik yang relatif kecil di dalam inti viral yang kemungkinan merupakan DNA genomik dan kompleks nucleoprotein (Hutoran, et al., 2005). Virus ini memiliki kepadatan bouyant sebesar 1.16 g/ml (Ilouze, et al., 2006a) dapat dipurifikasi menggunakan sentrifugasi pada gradient sukrosa dengan pita 37-39% sukrosa (Hutoran, et al., 2005).
Ada DNA Neanderthal di Tubuh Kita
Manusia Neanderthal dan manusia modern ternyata pernah kawin, kemungkinan besar terjadi ketika manusia pertama kali bermigrasi keluar dari Afrika, demikian sebuah studi genetika yang dirilis Jumat pagi WIB.
Orang Eropa, Asia dan Australasia semuanya memiliki DNA Neantherthal, tetapi orang Afrika tidak, kata para peneliti yang menyampaikan hasil penelitiannya dalam jurnal Science.
Hasil penelitian ini mungkin membantu menjawab perdebatan lama mengenai apakah manusia Neanderthal dan manusia modern hanya hidup berdampingan di Eropa dan Timur Tengah.
"Mereka yang tinggal di luar Afrika membawa sedikit DNA Neanderthal ke tubuh kita," kata Svante Paabo dari Institut Max Planck di Munich, Jerman, yang mengepalai penelitian itu.
"Proporsi material genetik asal Neanderthal kira-kira 1 sampai 4 persen. Memang kecil, tetapi itu proporsi yang benar-benar ada di nenek mooyang orang-orang non Afrika," kata Dr. David Reich dari Fakultas Kedokteran Universitas Harvard di Boston, yang menjadi anggota penelitian itu, kepada wartawan dalam briefing telepon.
Paabo mengaku tidak bisa mengidentifikasi kesamaan prilaku manusia Neanderthal dengan manusia modern sekarang. "Sejauh yang bisa kami katakan bukti-bukti ini hanya bagian acak dari DNA," katanya.
Para peneliti menggunakan metode modern yang disebut peruntutan seluruh genom untuk menguji DNA dari tulang-tulang Neanderthal yang ditemukan di Kroasia, Rusia, Jerman dan Spanyol, termasuk tulang-tulang patah dari seorang manusia gua di Kroasia yang disebut para peneliti sebagai bukti kanibalisme.
Para ilmuwan mengembangkan metode baru untuk mengumpulkan, membedakan dan merunutkan DNA manusia Neanderthal.
"Pada tulang-tulang itu yang usianya 30.000 sampai 40.000 tahun ada bukti teramat kecil DNA," kata Paabo. Dia menyatakan 97 persen atau lebih DNA yang diekstraksi berasal dari bakteri dan jamur.
Mereka kemudian membandingkannya dengan gen manusia Neanderthal dengan DNA lima orang Eropa, Asia, Papua Nugini dan Afrika.
"Analisis mereka membuktikan kekuatan perbandingan genom dan membawa pandangan baru mengenai pemahaman kita tentang evolusi manusia," kata Dr. Eric Green, Direktur Institut Riset Nasional Genom Manusia pada Institut Kesehatan Nasional.
Hasil penelitian mengimbuhkan bukti satu gambaran baru mengenai manusia modern yang hidup berdampingan atau berinteraksi pada tingkat yang paling intim dengan jenis manusia serupa yang kini sudah punah.
"Itu jelas sebuah petunjuk mengenai apa yang secara sosial terjadi manakala manusia Neanderthal bertemu dengan manusia modern," kata Paabo.
"Ada perkawinan pada tingkat tertentu. Saya memilih mewariskan pertanyaan ini kepada mereka yang ingin menjawabnya apakah kita ini spesies terpisah atau tidak. Secara genetis mereka (Neanderhtal) tidak jauh berbeda dari kita," tambahnya.
Perunutan DNA menjejak kembali masa sekitar 80.000 tahun lalu, manakala manusia modern pindah ke Timur Tengah dari Afrika, akan membuatnya sampai di kawasan selatan yang banyak dihuni manusia Neanderthal.
Para peneliti mengidentifikasi lima gen unik pada manusia Neanderthal, termasuk tiga gen kulit. "Bukti ini menujukkan bahwa sesuatu dalam fisiologi atau morfologi kulit manusia telah berubah," kata Paabo.
Bulan Maret lalu Paabo dan koleganya melaporkan bahwa mereka menemukan spesies manusia yang tidak dikenal yang kemungkinan hidup 30.000 tahun lalu, di samping manusia modern dan manusia Neanderthal di Siberia.
Selama bertahun-tahun para peneliti berspekulasi mengenai beberapa perbedaan dalam spesies manusia yang tinggal berdampingan di masa awal jutaaan tahun lalu. Banyak diantaranya hidup di kawasan tropis di mana sisa tulang tidak terpelihara.
Paabo mengatakan manusia Afrika modern mungkin membawa sejumlah DNA tak dikenal, andai mereka tidak membawa DNA nenek moyang manusia Neanderthal. (*)
Orang Eropa, Asia dan Australasia semuanya memiliki DNA Neantherthal, tetapi orang Afrika tidak, kata para peneliti yang menyampaikan hasil penelitiannya dalam jurnal Science.
Hasil penelitian ini mungkin membantu menjawab perdebatan lama mengenai apakah manusia Neanderthal dan manusia modern hanya hidup berdampingan di Eropa dan Timur Tengah.
"Mereka yang tinggal di luar Afrika membawa sedikit DNA Neanderthal ke tubuh kita," kata Svante Paabo dari Institut Max Planck di Munich, Jerman, yang mengepalai penelitian itu.
"Proporsi material genetik asal Neanderthal kira-kira 1 sampai 4 persen. Memang kecil, tetapi itu proporsi yang benar-benar ada di nenek mooyang orang-orang non Afrika," kata Dr. David Reich dari Fakultas Kedokteran Universitas Harvard di Boston, yang menjadi anggota penelitian itu, kepada wartawan dalam briefing telepon.
Paabo mengaku tidak bisa mengidentifikasi kesamaan prilaku manusia Neanderthal dengan manusia modern sekarang. "Sejauh yang bisa kami katakan bukti-bukti ini hanya bagian acak dari DNA," katanya.
Para peneliti menggunakan metode modern yang disebut peruntutan seluruh genom untuk menguji DNA dari tulang-tulang Neanderthal yang ditemukan di Kroasia, Rusia, Jerman dan Spanyol, termasuk tulang-tulang patah dari seorang manusia gua di Kroasia yang disebut para peneliti sebagai bukti kanibalisme.
Para ilmuwan mengembangkan metode baru untuk mengumpulkan, membedakan dan merunutkan DNA manusia Neanderthal.
"Pada tulang-tulang itu yang usianya 30.000 sampai 40.000 tahun ada bukti teramat kecil DNA," kata Paabo. Dia menyatakan 97 persen atau lebih DNA yang diekstraksi berasal dari bakteri dan jamur.
Mereka kemudian membandingkannya dengan gen manusia Neanderthal dengan DNA lima orang Eropa, Asia, Papua Nugini dan Afrika.
"Analisis mereka membuktikan kekuatan perbandingan genom dan membawa pandangan baru mengenai pemahaman kita tentang evolusi manusia," kata Dr. Eric Green, Direktur Institut Riset Nasional Genom Manusia pada Institut Kesehatan Nasional.
Hasil penelitian mengimbuhkan bukti satu gambaran baru mengenai manusia modern yang hidup berdampingan atau berinteraksi pada tingkat yang paling intim dengan jenis manusia serupa yang kini sudah punah.
"Itu jelas sebuah petunjuk mengenai apa yang secara sosial terjadi manakala manusia Neanderthal bertemu dengan manusia modern," kata Paabo.
"Ada perkawinan pada tingkat tertentu. Saya memilih mewariskan pertanyaan ini kepada mereka yang ingin menjawabnya apakah kita ini spesies terpisah atau tidak. Secara genetis mereka (Neanderhtal) tidak jauh berbeda dari kita," tambahnya.
Perunutan DNA menjejak kembali masa sekitar 80.000 tahun lalu, manakala manusia modern pindah ke Timur Tengah dari Afrika, akan membuatnya sampai di kawasan selatan yang banyak dihuni manusia Neanderthal.
Para peneliti mengidentifikasi lima gen unik pada manusia Neanderthal, termasuk tiga gen kulit. "Bukti ini menujukkan bahwa sesuatu dalam fisiologi atau morfologi kulit manusia telah berubah," kata Paabo.
Bulan Maret lalu Paabo dan koleganya melaporkan bahwa mereka menemukan spesies manusia yang tidak dikenal yang kemungkinan hidup 30.000 tahun lalu, di samping manusia modern dan manusia Neanderthal di Siberia.
Selama bertahun-tahun para peneliti berspekulasi mengenai beberapa perbedaan dalam spesies manusia yang tinggal berdampingan di masa awal jutaaan tahun lalu. Banyak diantaranya hidup di kawasan tropis di mana sisa tulang tidak terpelihara.
Paabo mengatakan manusia Afrika modern mungkin membawa sejumlah DNA tak dikenal, andai mereka tidak membawa DNA nenek moyang manusia Neanderthal. (*)
VAKSIN DNA UNTUK VIRUS KHV YANG MENYERANG IKAN MAS DAN KOI
VAKSIN DNA UNTUK VIRUS KHV YANG MENYERANG IKAN MAS DAN KOI
Serangan koi herpesvirus (KHV) dapat menyebabkan kematian massal pada ikan mas dan koi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, masyarakat pembudidaya telah lama menunggu adanya vaksin untuk KHV. Vaksin dari virus yang dilemahkan telah tersedia, namun demikian harganya sangat mahal dan dari hasil pengujian yang dilakukan bahwa ada indikasi virus tersebut sebagian masih virulen. Vaksin DNA merupakan alternatif vaksin yang efektif dan aman. Melalui penelitian yang disponsori oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat (tahun 2008) dan Program Penelitian Hibah Doktor oleh SPS-IPB (tahun 2009), Sri Nuryati, S.Pi., M.Si yang merupakan mahasiswa program studi S3 PS Sains Veteriner-SPS IPB, yang sekaligus staf pengajar di Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB telah membuat vaksin DNA untuk KHV. Hasil analisis reverse transcriptase PCR menunjukkan bahwa gen yang dibawa oleh vaksin tersebut terekspresi pada ikan yang divaksinasi yang berarti bahwa vaksin tersebut bersifat aktif. Selanjutnya, melalui uji tantang skala laboratorium vaksin tersebut mampu meningkatkan kelangsungan hidup ikan mas lebih dari 95% selama satu bulan setelah vaksinasi. Ikan yang tidak divaksin sebelum uji tantang dilakukan semuanya mati. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin DNA tersebut sangat efektif untuk menanggulangi serangan virus KHV.
Metode aplikasi vaksin yang digunakan pada penelitian tahap pertama ini masih melalui injeksi. Pada penelitian selanjutnya akan dikembangkan metode yang mudah diaplikasikan di lapangan secara massal, seperti melalui pakan alami dan pakan buatan. Mengingat kemampuan proteksi vaksin DNA cukup besar, maka pengembangan metode vaksinasi untuk aplikasi di lapangan perlu segera dilaksanakan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pencegahan infeksi KHV pada ikan budidaya yang sudah terjadi di Indonesia sejak 2002, yang sampai sekarang problem tersebut belum mendapatkan solusi yang tepat (Sumber. lppm IPB).
Serangan koi herpesvirus (KHV) dapat menyebabkan kematian massal pada ikan mas dan koi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, masyarakat pembudidaya telah lama menunggu adanya vaksin untuk KHV. Vaksin dari virus yang dilemahkan telah tersedia, namun demikian harganya sangat mahal dan dari hasil pengujian yang dilakukan bahwa ada indikasi virus tersebut sebagian masih virulen. Vaksin DNA merupakan alternatif vaksin yang efektif dan aman. Melalui penelitian yang disponsori oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat (tahun 2008) dan Program Penelitian Hibah Doktor oleh SPS-IPB (tahun 2009), Sri Nuryati, S.Pi., M.Si yang merupakan mahasiswa program studi S3 PS Sains Veteriner-SPS IPB, yang sekaligus staf pengajar di Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB telah membuat vaksin DNA untuk KHV. Hasil analisis reverse transcriptase PCR menunjukkan bahwa gen yang dibawa oleh vaksin tersebut terekspresi pada ikan yang divaksinasi yang berarti bahwa vaksin tersebut bersifat aktif. Selanjutnya, melalui uji tantang skala laboratorium vaksin tersebut mampu meningkatkan kelangsungan hidup ikan mas lebih dari 95% selama satu bulan setelah vaksinasi. Ikan yang tidak divaksin sebelum uji tantang dilakukan semuanya mati. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin DNA tersebut sangat efektif untuk menanggulangi serangan virus KHV.
Metode aplikasi vaksin yang digunakan pada penelitian tahap pertama ini masih melalui injeksi. Pada penelitian selanjutnya akan dikembangkan metode yang mudah diaplikasikan di lapangan secara massal, seperti melalui pakan alami dan pakan buatan. Mengingat kemampuan proteksi vaksin DNA cukup besar, maka pengembangan metode vaksinasi untuk aplikasi di lapangan perlu segera dilaksanakan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pencegahan infeksi KHV pada ikan budidaya yang sudah terjadi di Indonesia sejak 2002, yang sampai sekarang problem tersebut belum mendapatkan solusi yang tepat (Sumber. lppm IPB).
Senin, 08 Februari 2010
Rio Aditya K: Beasiswa StuNed (Belanda)
Rio Aditya K: Beasiswa StuNed (Belanda): "http://www.puskari.dkp.go.id/new_puskari/detil_berita.php?id=233"
Beasiswa StuNed (Belanda)
untuk lebih jelas mengenai info beasiswa ini, silakan melihat pada web berikut:
http://www.puskari.dkp.go.id/new_puskari/detil_berita.php?id=233
* http://www.nesoindonesia.or.id
* http://www.nesoindonesia.or.id/home/news-events/news-archive/2010/stuned-beasiswa-untuk-pembangunan-indonesia
* http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/beasiswa/stuned
* http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/beasiswa/stuned/stuned-master-programme
http://www.puskari.dkp.go.id/new_puskari/detil_berita.php?id=233
* http://www.nesoindonesia.or.id
* http://www.nesoindonesia.or.id/home/news-events/news-archive/2010/stuned-beasiswa-untuk-pembangunan-indonesia
* http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/beasiswa/stuned
* http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/beasiswa/stuned/stuned-master-programme
Deteksi Flu Burung Dengan Teknologi PCR

Wabah flu burung yang sering terjadi dapat menimbulkan keprihatinan kita bersama. Data WHO telah mencatat terjadinya kasus flu burung dari berbagai kasus diberbagai daerah dan lebih dari setengah kasus tersebut menyebabkan diantaranya meninggal dunia. Maka dari itu flu burung merupakan penyakit yang membahayakan bagi manusia. Penyakit flu burung disebabkan oleh virus influenza patogenik tinggi (highly pathogenic avian influenza (HPAI). Virus yang dikenal dengan H5NI merupakan virus influenza tipe A dan termasuk kelompok (famili) Orthomyxoviridae pada klasifikasi virus, sehingga sering kali dalam referensi WHO ditulis sebagai virus HPAI A/H5NI. Kelompok ini mempunyai ciri, yaitu berupa RNA utas tunggal negatif.
Ciri lain dari virus H5NI adalah bahwa RNA virus flu burung ini terbungkus dua jenis protein yaitu hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). pada penamaan virus H5NI, angka 5 pada H5 menunjukan sub tipe ke-1 dari 9 sub tipe protein neuraminidase. Menurut WHO, jenis virus influenza pathogenic tinggi terdapat pada virus H5 dan H7 yang berarti virus influenza tersebut terbungkus protein hemaglutinin sub tipe ke 5 atau ke 7.
Dalam beberapa artikel ilmu pengetahuan baru-baru ini salah satu teknik PCR dapat digunakan untuk mendeteksi gen-gen virus influenza yang khas dalam rangka deteksi dini (early date action) dan tindakksn dini (early action). Istilah polymerase chain reaction (PCR) yang awalnya dikenal dalam lingkup biologi molekuler dan bioteknologi dapat diaplikasikan untuk mendeteksi flu burung.
Sehubungan dengan RNA sebagai komponen dasar genetik yang terdapat pada virus flu burung inilah metode RT-PCR yang dipergunakan sebagai metode deteksinya. Untuk “primer” yang digunakan berdasarkan standar WHO saat ini, diperlukan minimal 4 buah, yaitu dua buah untuk melipat gandakan segmen DNA pengkode hemaglutinin sub tipe 5 (H5) dengan menghasilkan produk segmen DNA berukuran sekitar 219 pasang basa sedangkan dua lagi untuk melipat gandakan segmen DNA pengkode neuraminidase subtipe 1 (CN) dengan menghasilkan produk segmen DNA berukuran sekitar 616 bp. Selain itu WHO menambahkan dua buah “primer” untuk digunakan melipatgandakan segmen DNA pengkode hemaglutinin subtipe 9 (H9) yang menghasilkan produk DNA berukuran 388bp.
Deteksi virus flu burung dengan mengkode PCR dapat dilakukan di laboraturiumstandar biologi molekuler atau bioteknologi yang memiliki mesin PCR. Baik di LIPII, perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dibawah departemen.
Proses transkripsi RNA
Pada metode RT-PCR ini, sumber sampal yang gdipergunakan adalah RNA. RNA merupakan asam ribonukea utas tunggal. Ciri khas RNA adalah tidak terdapat gugus basa nukleotida timin (T) melainkan terganti oleh urasil (U). Dalam hal ini akan disintesis DNA dari perpasangan antara gugus U dengan C. Dari DNA inilah dilipatgandakannya segmen DNA yang mirip urutan basa nukleotida pada RNA, hanya U tergantikan kembali ke T. Proses yang terjadi ini mirip proses transkripsi, urutan basa nukleotida RNA. Pada RT-PCR, proses ini membalikkan dari RNA menjadi DNA yang disebut dengan DNA komplemen atau disingkat DNA . Karena ada pertambahan proses sintesis DNA, tambahan proses PCR-nya turut bertambah pula. Pada tahap pertama, tidak diperlukan adanya denaturasi, tetapi langsung pada proses anneling untuk memasangkan “primer” dan tension untuk memperpanjangnya menjadi segmen molokul cDNA. Setelah terbentuk molekul cDNA ini, baru kemudian masuk kepada reaksi PCR biasa yang membutuhkan tiga tahap proses, yaitu denaturasi, anneling, dan extension yang kemudian diputar berulang-ulang sampai kelipatan 40 kali.
ASPEK BIOLOGI MOLEKULER VIRUS AVIAN INFLUENZA

Rio Aditya Kurniawan, S.KH
Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga
Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Universitas Airlangga
2.1. Etiologi dan Morfologi Virus Avian Influenza
Avian Influenza merupakan jenis penyakit viral yang tergolong ganas pada berbagai macam unggas yang menyerang saluran pernafasan, pencernaan dan sistem syaraf. Penyakit Avian Influenza disebabkan oleh virus influenza (virus RNA) yang mempunyai aktifitas Haemaglutinin dan Neuraminidase dan tergolong dalam famili Orthomyxoviridae. Virus influenza terdiri dari tiga tipe antigenik yang berbeda yaitu tipe A, tipe B dan tipe C, dimana setiap tipe dari virus influenza ditentukan oleh struktur antigenik protein nuclei dan matrik antigen yang saling berhubungan erat di antara virus tertentu (Tabbu, 2000; Horimoto and Kawaoka, 2001). Selain unggas, virus influenza juga menginfeksi beberapa spesies mamalia dan manusia. Virus influenza tipe A ditemukan pada ayam, babi, kalkun, bebek, mentok, angsa, burung dan ikan paus. Virus influenza tipe B ditemukan pada manusia dan babi (WHO, 2005; Nidom, 2005).
Virus influenza A dapat menginfeksi unggas dan mamalia. Virus influenza tipe B dan C dapat diisolasi dari manusia dan sifatnya kurang patogen (low pathogenic) dibandingkan dengan virus influenza A. Perbedaan virus influenza A dan B terdapat pada protein permukaan yang berfungsi sebagai saluran ion. Virus influenza C mempunyai tujuh macam gen dan hanya mempunyai satu macam glikoprotein yaitu Haemaglutinin-Esterase-Fusion (HEF) yang berfungsi sebagai protein haemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) pada tipe virus yang lain yang tampak seperti gambar 2.1. (Whittaker, 2001).
Bentuk virus influenza adalah adalah pleomorfik, ovoid, spherik atau filamen dengan ukuran diameter 80 – 120 nm. Virus ini memiliki envelope, genom ssRNA bersegmen sehingga dapat terjadi reassortment (Raharjo dan Nidom, 2004).
Virus Influenza A merupakan virus RNA dengan genom yang terdiri dari delapan gen RNA dan menghasilkan sepuluh protein. Kedelapan fragmen gen ini terbagi menjadi dua bagian yaitu gen eksternal dan gen internal. Gen eksternal terdiri dari gen haemaglutinin (HA) dan gen neuraminidase (NA) yang bersifat antigenik dan berfungsi dalam perlekatan pada sel hospes (Horimoto dan Kawaoka, 2001; Harder dan Werner, 2006). Gen internal terdiri dari gen polymerase basic 2 (PB2), polymerase basic 1 (PB1), polymerase acidic (PA), nucleoprotein (NP), matriks (M) dan non-structural (NS). Gen internal ini berfungsi dalam replikasi dan transkripsi virus. Masing-masing fragmen gen virus Avian Influenza A menghasilkan satu macam protein, kecuali fragmen M dan fragmen NS, yaitu masing-masing menghasilkan dua macam protein, yaitu protein M1 dan M2 serta protein NS1 dan NS2 (Horimoto dan Kawaoka, 2001).
Virus Avian Influenza terdiri atas 15 subtipe (berdasarkan atas kandungan Haemaglutinin) dan terdiri atas 9 subtipe (berdasarkan atas kandungan Neuraminidase) (Raharjo dan Nidom, 2004).
Haemaglutinin merupakan molekul glikoprotein selubung virus yang berfungsi untuk mengikatkan virus ke reseptor sel target dan mengawali terjadinya infeksi. Enzim neuraminidase memiliki fungsi untuk melepas keturunan virus dari sel yang terinfeksi dan juga mempunyai aktifitas untuk melepas ikatan haemaglutinin dan permukaan sel darah merah (Treanor, 2004).
Variasi antigenik pada virus influenza dapat ditemukan dengan frekuensi yang tinggi dan melalui dua cara, yaitu drift dan shift. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Antigenic Drift dan Antigenic Shift) dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi (Horimoto and Kawaoka, 2001; Nidom dkk, 2005). Sifat antigenic drift merupakan keadaan virus AI yang mengalami mutasi urutan nukleotida pada gen HA atau NA atau keduanya yang menyebabkan antibodi tidak bisa secara lengkap menetralisasi virus ini. Perubahannya bersifat terbatas (minor), tetapi subtipenya tetap sama. Sedangkan sifat antigenic shift merupakan aktivitas dari dua macam virus Avian Influenza A yang menghasilkan segmen gen baru sebagai hasil rekombinan genetik. Aktivitas ini mengakibatkan antibodi yang sudah terbentuk di dalam tubuh tidak dapat menetralkan sama sekali terhadap virus baru tersebut. Jadi aktivitas ini akan menghasilkan subtipe baru. Perubahannya dominan (mayor) dan dapat menimbulkan keadaan pandemik (Raharjo dan Nidom, 2004).
2.1. Sifat Virus Avian Influenza
Virus Avian Influenza bersifat inaktif pada suhu 56 oC selama tiga hari dengan temperatur 60 oC selama tiga menit, pH asam, bahan kimia (oksidator, sodium doedecyl sulphate, Lipid solven, B Propiolakton), desinfektasia (formalin dan senyawa Iodium), tetapi dapat bertahan lama pada jaringan hewan, feses dan air (Treanor, 2004).
Virus Avian Influenza terlindung oleh bahan organik yang ada dalam kandang seperti lendir, darah dan tinja. Virus Avian Influenza masih tetap infektif dalam feses selama 30-35 hari pada temperatur 4 oC, selama tujuh hari pada temperatur 20 oC. Virus influenza yang bersifat infeksius dapat diisolasi dari cairan kotoran ayam selama 105 hari setelah depopulasi ayam pada saat terjadinya letupan Avian Influenza. Virus influenza dapat bertahan lama dengan kondisi lembab dan dingin serta dapat diisolasi dari air danau atau air kolam yang terletak di daerah yang banyak dihuni oleh unggas air. Virus influenza bisa tumbuh di dalam telur ayam bertunas (TAB) yang berumur 9-11 hari. Virus ini juga tumbuh pada kultur jaringan chicken embryo fibroblast (CEF) dan uji invivo bisa dilakukan pada ayam, kalkun dan itik (Tabbu, 2000).
2.3 Tingkat Keganasan
Virus Avian Influenza dikategorikan dalam prototipe yang berbeda berdasarkan kemampuannya untuk menyebabkan penyakit yang ringan atau ganas. Secara umum virus Avian Influenza dibedakan menjadi dua yaitu HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) dan LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza) (Raharjo dan Nidom, 2004).
Virus HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza ) bersifat tropisme untuk berkembang biak pada saluran pernafasan, pencernaan, sistem syaraf dan peredaran darah sehingga mampu menyerang dan merusak semua organ tubuh. Salah satu tanda Highly Pathogenic Avian Influenza adalah tingkat kematian yang sangat tinggi, yaitu mencapai 100%. Virus yang bersifat HPAI seperti H5 dan H7 mudah mengalami mutasi dan keganasannya ditentukan oleh waktu, tempat dan inang yang terinfeksi (Raharjo dan Nidom, 2004).
Hewan yang terinfeksi virus influenza yang bersifat LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza) ini dapat sembuh dalam waktu seminggu dengan gejala pernafasan. Hewan yang sembuh ini biasanya menularkan virus melalui tinjanya. Virus Low Pathogenic Avian Influenza mampu mengalami mutasi antigenik menjadi Highly Pathogenic Avian Influenza. Kematian akibat Highly Pathogenic Avian Influenza berlangsung cepat dan didahului dengan gejala pernafasan atau kadang tanpa gejala (Horimoto dan Kawaoka, 2001).
2.4. Patogenesis Virus Avian Influenza
Virus Avian Influenza dari aspek patogesisnya selama ini dikenal dua macam yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Patohenic Avian Influenza (HPAI). Sementara dari aspek subtipe, virus Avian Influenza yang dikategorikan sebagai HPAI adalah subtipe H5 dan H7. Kedua subtipe ini mampu menyebabkan gangguan respirasi dan kematian hingga 100% pada unggas. Virus HPAI yang menginfeksi hewan dan manusia di Indonesia sampai saat ini mempunyai subtipe H5N1 (Nidom,2005).
Patogenisitas virus Avian Influenza subtipe H5N1 adalah poligenik, bukan hanya ditentukan oleh protein hemaglutinin (HA) tetapi juga oleh protein neuraminidase (NA). Protein HA mempunyai peran penting dalam proses masuknya virus ke dalam sel dan menentukan respon antibodi yang ditimbulkan oleh antigen virus ini. Protein NA mempunyai peran penting untuk membedakan inang. Sebagai contoh suatu virus reassortant yang berisi gen yang semuanya dari bebek, kecuali NA yang berasal dari manusia, ternyata virus ini tidak dapat tumbuh pada bebek. Sebagaimana dengan protein HA, spesifisitas substrat untuk protein NA tampaknya ikut berperan dalam replikasi virus Influenza A (Horimoto and Kawaoka,2001).
Enzim ini akan menghidrolisis ikatan antara galaktosa dan N-acetylneuramic pada rantai ujung oligosakarida-glikoprotein untuk melepaskan N-acetylneuraminic acid (asam sialat) dari permukaan sel. Fungsi protein NA yang bersifat kebalikan dari protein HA ini, harus berada dalam keseimbangan. Hal ini bertujuan agar aktivitas enzimatisnya saat melepaskan asam sialat tidak mengakibatkan penurunan efisiensi infeksi, karena pelepasan asam sialat dari sel yang tidak terinfeksi terjadi sebelum penempelan virus. Fungsi lain protein NA adalah untuk melepaskan partikel virus yang sudah dibentuk dari sel. Juga untuk mencegah virion yang sudah terbentuk tersebut menempel kembali pada reseptor asam sialat (Kobasa et al.2001).
Berdasarkan penelitian terdahulu, menunjukkan fungsi lain dari protein NA ini, yaitu protein ini juga dapat mefasilitasi virus Influenza dalam proses masuknya ke dalam sel, sehingga keseimbangan antara protein HA dan NA sangat penting dalam menentukan infektifitas virus influenza ini (Matrovich et al.2004).
Minggu, 07 Februari 2010
HUBUNGAN TLR, MHC DAN NF-kB DALAM KAITANNYA DENGAN PENANGANAN ALERGI OLEH BAKTERI ASAM LAKTAT

Rio Aditya Kurniawan, S.KH
Program Pasca Sarjana Vaksinologi dan Imunotherapeutika
Universitas Airlangga
3.1. Imunopatologi Alergi
Reaksi alergi terjadi melalui tahap-tahap aktivasi sel-sel imunokompeten, aktivasi sel-sel struktural, aktivasi dan recruitment sel-sel mast, eosinofil dan basofil, reaksi mediator dengan target organ dan tahap timbulnya gejala. Alergen yang berhasil masuk tubuh akan diproses oleh APC. Peptida alergen yang dipresentasikan oleh APC menginduksi aktivasi Limfosit T. Aktivasi Limfosit T oleh APC yang memproses alergen akan mengaktivasi Limfosit TH2 untuk memproduksi sitokin-sitokinnya (Kapsenberg ML, 2003). Kontrol specialized pattern recognition receptors (PRRs) yaitu Toll-like receptors (TLR) dari sel-sel dendritik (DCs) atas respons imun innate menentukan respons imun adaptif TH1, Treg atau TH2. Limfosit TH1 memproduksi IL-2, IFN-γ dan TNF-α, sedangkan Limfosit TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10, IL-13, dan GM-CSF. Limfosit TH yang baru diaktifkan alergen akan berfenotip TH2 (Oettgen HC and Geha RS, 2003).
Produksi sitokin TH2 terutama IL-4 akan mensupresi perkembangan TH1 dan produksi sitokin TH1 terutama TNF-α akan mensupresi perkembangan TH2 (Bashir, 2004). Bila sitokin yang dihasilkan Limfosit TH2 berinteraksi dengan Limfosit B, maka Limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Sitokin yang dihasilkan TH2 menstimulasi produksi sel mast, basofil dan eosinofil. (Borish L, 2003). Interaksi antara alergen, sel mast dan IgE menghasilkan degranulasi sel mast (Ashcroft RE, 2004).
Degranulasi sel mast melepaskan mediator histamin. Histamin yang dilepaskan sel mast ditangkap reseptor histamin di target organ. Bila terjadi interaksi histamin dengan reseptornya pada target organ, maka reaksi alergi akan terjadi (Roecken, 2003).
Reseptor H1-histamin mempunyai peran yang lebih luas dalam proses radang daripada sekedar mediator yang menyebabkan alergi (Togias A, 2003). Reseptor H2-histamin mempunyai peran dalam terjadinya rasa gatal dan nyeri pada kulit serta peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi perifer, sedangkan reseptor H3-histamin meningkatan pelepasan neurotransmitter seperti histamine, norepinephrine, asetilkolin, peptide dan 5-hidroksitriptamin (Roecken, 2003).
Gambar 1. Mekanisme alergi (Sumber: Hawrylowicz CM dan O’Garra A, 2005)
Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan alergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early (acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs).
Pada EAR, dalam beberapa menit kontak dengan alergen, sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.
Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi, termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins, eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5, IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi.
3.2. Peran Bakteri Asam Laktat Dalam Pencegahan Kasus Alergi
Pemberian bakteri asam laktat berperan dalam pencegahan alergi yang merupakan upaya perbaikan homoestasis sistem biologis penderita yang ditujukan pada imunomodulasi respon imun dengan menyeimbangkan respon imun Th1 dan Th2. Alergi merupakan bentuk “Th2-disease” yang upaya perbaikannya memerlukan
pengembalian host pada kondisi “Th1-Th2” yang seimbang. Bakteri asam laktat mampu mengkontrol mikro flora dan juga memiliki kemampuan sebagai aktivator yang kuat untuk sistem imun innate karena mempunyai molekul yang spesifik pada dinding selnya. Dalam mikrobiologi, molekul-molekul spesifik tersebut dikenal sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMPs). Molekul-molekul spesifik (PAMPs) dikenali oleh reseptor-reseptor spesifik (specific pattern recognition receptors, PRRs). Salah satu PAMPs yang ada pada bakteri asam laktat adalah lipoteichoic acid (LTA). LTA merupakan molekul yang secara biologis aktif, merupakan karakteristik dari bakteri gram positif dan mempunyai dampak biologis (misalnya dalam induksi produksi sitokin) yang sama dengan LPS (Miettinen M, 2001).
TLRs adalah PRRs (pattern recognition receptors) mamalia yang berfungsi sebagai sinyal transducer yang berhubungan dengan CD-14 untuk membantu sel host mengenali patogen serta melakukan inisiasi kaskade sinyal. TLRs juga membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif dengan menginduksi berbagai molekul efektor dan ko-stimulator (Miettinen M, 2001).
Semua TLRs mempunyai struktur yang sama dan mempunyai karakter menyalurkan sinyal melalui NF-B, AP-1, dan MAP kinases. Efektor hilir dari beberapa TLR, misalnya TLR2 dan TLR4, adalah adapter protein MyD88 yang berinteraksi dengan reseptor transmembran melalui domain C-terminal TIR.
MyD88 merekrut Ser/Thr kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk membentuk kompleks reseptor. IRAK berhubungan dengan molekul adapter TNF receptor associated factor (TRAF6). TRAF6 selanjutnya mengaktivasi MAP3K family member NIK (NF-kB-inducing kinase) yang akan mengaktivasi NF-kB inhibitor kinases (IKKs). Degradasi NF-kB inhibitor I-kB melepaskan NF-kB yang segera translokasi ke nukleus untuk menginduksi ekspresi gen yang sesuai (Zhang G, Ghosh S, 2001).
Pada tingkat molekul, sistem imun innate dipusatkan pada aktivasi dari NF-B, yang mempunyai kemampuan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin proinflamasi dalam merespon stimulasi oleh mikroba. Dalam perannya membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif TLR, mampu menginduksi respons imun baik ke arah TH1 maupun Treg. TLR-2 dan TLR-4 diketahui mempunyai peran penting dalam polarisasi respons imun oleh paparan mikroba (Iwasaki A, Medzhitov R, 2004; Supajatura 2002)
Jadi konsep bakteri asam laktat pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif dari respon imunologik yang dimulai dari sistim imun innate dan mengarah pada pengembalian host pada kondisi “Th1-Th2” yang seimbang.
Gambar 2 : Sinyal TLR 2 dan TLR 4 (Sumber : Takeda dan Akira, 2004).
Toll-like receptors (TLRs) membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif. TLRs adalah PRRs (pattern recognition receptors) mamalia yang berfungsi sebagai cluster of differentiation (CD)-14 associated signal transducers, yang membantu sel untuk mengenali patogen serta melakukan inisiasi kaskade sinyal. TLRs juga membantu menjembatani sistem imunitas innate ke sistem adaptif dengan menginduksi berbagai molekul efektor dan ko-stimulator. Efektor hilir dari TLR2 dan TLR4 adalah adapter protein MyD88 yang berinteraksi dengan reseptor transmembran melalui domain C-terminal TIR.
MyD88 merekrut Ser/Thr kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk membentuk kompleks reseptor. IRAK berhubungan dengan adapter molecule TNF receptor associated factor (TRAF6). TRAF6, selanjutnya mengaktivasi MAP3K family member NIK (NF-kB-inducing kinase) yang akan mengaktivasi NF-kB inhibitor kinases (IKKs). Degradasi NF-kB inhibitor I-kB melepaskan NF-kB yang segera translokasi ke nukleus untuk menginduksi ekspresi gen yang sesuai.
Tabel 1. Kaitan Teori Imunologi dan Fakta Empirik Tentang Mekanisme Bakteri Asam Laktat Dalam Penurunan Reaksi Alergi.
Tahap dalam reaksi alergi Teori imunologi Fakta hasil penelitian mengenai bakteri asam laktat
Tahap aktivasi sel-sel imunokompeten (APC, DC, Sel T Naive) Sistem imun innate dipusatkan pada aktivasi NF-kB, (Zhang dan Ghosh, 2001).
TLR2 dan TLR 4 berperan dalam aktivasi NFkB. (Means, 2001,Matsuguchi, 2003 )
TLR 2 dan 4 berperan dalam peningkatan IFN-gama serta penurunan IL-4, IL13 dan eosinofil. (Revets et al, 2005) bakteri asam laktat menurunkan kemampuan agonist TLR dalam aktivasi NFkB (Me´nard, 2004)
TLR2 berperan dalam aktivasi NFkB oleh Lactobacillus (Matsuguchi, 2003)
Tahap aktivasi sel-sel struktural. (Th1,Th2 dan Treg.) Hampir semua TLR mengontrol induksi respons imun ke arah TH1. (Miettinen, 2000; Murch, 2000; Aderem et al, 2000)Sebagian besar TLR mengontrol aktivasi Limfosit TH1. (Matsuguchi, 2003).
TLR-2 mampu mengontrol aktivasi Limfosit TH2. (Umetsu et al, 2002; Baldini et al 1999; Eder et al 2004)
TLR-4 mengontrol optimalisasi aktivasi Limfosit TH2.(Dabbagh, 2003).
TLR-4 mampu mengaktivasi Limfosit TH1 dan Treg. (Drachenberg, 2003; Mothes, 2003). Bakteri asam laktat menginduksi Limfosit TH1 (Ghosh et al., 2004; Schon,1991; Lambrecht, 1998; Matsuzaki, 2000).
Bakteri asam laktat menginduksi Limfosit Treg (von der Weid, 2001; Prioult, 2003; Murch,2000; Newberry, 1999; Isolauri,2000).
Bakteri asam laktat menginduksi Limfosit TH1 dan Treg melalui reseptor di APC. (Hart, 2004; Christensen, 2002; Miettinen,1998; Matsuguchi, 2003; Miettinen, 2000; Murch, 2000; Aderem et al, 2000).
Bakteri asam laktat meningkatkan IFN, IL-12, TGF-dan IL-10, serta menurunkan IL-4 dan IL-5 (Von der Weid T, 2001)
Lactobacillus paracasei (NCC 2461), Lactobacillus johnsonii (NCC 533) and Bifidobacterium lactis Bb12 (NCC 362) pada mencit yang disensitisasi BLG, menurunkan IgE, IgG1 dan IgG2a (Prioult et al, 2003)Bakteri asam laktat LGG motif TTTCGTTT oligodeoxy- nucleotida (ODN) 135 meningkatkan mRNA IL-12 dan mRNA IFNgama (Iliev ID, 2004)
Dari ekstrapolasi dan sintesis atas fakta-fakta ilmiah yang telah dihasilkan oleh penelitian sebelumnya, baik pada manusia maupun hewan, menunjukkan bahwa pemberian bakteri asam laktat dapat menurunkan reaksi alergi melalui aktivasi TLR2 dan TLR4 serta respon imun adaptif yang diaktifkan TLR2 otonom dari regulasi Treg, sedangkan yang diaktifkan TLR4 tidak.
Sabtu, 06 Februari 2010
DETECTION OF H5N1 AVIAN INFLUENZA ANTIBODY ON STRAY CATS (Felis silvestris catus) IN SEMARANG AREA
Rivi Dwiyanto1), Rio Aditya Kurniawan1), Reviany V.Nidom2), Muhamad Yusuf2), Chairul A. Nidom. 2,3,4)*).
1) Veterinary Medicine Faculty - Airlangga University; 2) Avian Influenza Laboratory - Tropical Disease Center;3) KKR4-Komnas FBPI; 4)Poultry Disease Center- Veterinary Medicine Faculty AirlanggaUniversity Surabaya
*) Email : nidomca@unair.ac.id
ABSTRACT
The aim of this study was to detect the presence of Avian Influenza antibody subtype H5N1 on stray cats (Felis silvestris catus) in several places in Semarang such as Johar, Bandarejo, Babatan, Bitingan dan Kobong traditional markets. The samples for HI test were collected from sera of stray cats that have been added RDE (Reseptor Destroying enzyme) (3:1). HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by hemagglutination on the base of microplate’s wells. The result showed that from 30 samples, there were 10 samples that had Avian Influenza antibody subtype H5N1. The percentage of the presence of Avian Influenza antibody subtype H5N1 was 33,33%.
Keys words: Avian Influenza, antibody, stray cats
1) Veterinary Medicine Faculty - Airlangga University; 2) Avian Influenza Laboratory - Tropical Disease Center;3) KKR4-Komnas FBPI; 4)Poultry Disease Center- Veterinary Medicine Faculty AirlanggaUniversity Surabaya
*) Email : nidomca@unair.ac.id
ABSTRACT
The aim of this study was to detect the presence of Avian Influenza antibody subtype H5N1 on stray cats (Felis silvestris catus) in several places in Semarang such as Johar, Bandarejo, Babatan, Bitingan dan Kobong traditional markets. The samples for HI test were collected from sera of stray cats that have been added RDE (Reseptor Destroying enzyme) (3:1). HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by hemagglutination on the base of microplate’s wells. The result showed that from 30 samples, there were 10 samples that had Avian Influenza antibody subtype H5N1. The percentage of the presence of Avian Influenza antibody subtype H5N1 was 33,33%.
Keys words: Avian Influenza, antibody, stray cats
ANALYSIS COMPARATION OF HI TITER AVIAN INFLUENZA VIRUSES SUBTYPE H5 IN PIGS SERA BY USING PIG RED BLOOD CELL
Rio Aditya Kurniawan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia
ABSTRACT
The aim of this study was to know and compare HI titer of Avian Influenza viruses subtype H5 in pigs sera by using pig RBC (Red Blood Cell). The samples for HI test were collected from sera of pigs in Surabaya abattoir that have been added RDE (Receptor Destroying Enzyme) 3:1. HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by haemagglutination on the base of microplate’s wells. The concentration of pig RBC which was used in these study were 0,125%; 0,25%; 0,375%; 0,5%; 0,625%; 0,75%; 0,875%; 1% and 0,5% chicken RBC The result showed that pig RBC with 0,875% concentration were the highest HI titer than the others.
Key words: Avian Influenza, HI titer, pigs sera
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia
ABSTRACT
The aim of this study was to know and compare HI titer of Avian Influenza viruses subtype H5 in pigs sera by using pig RBC (Red Blood Cell). The samples for HI test were collected from sera of pigs in Surabaya abattoir that have been added RDE (Receptor Destroying Enzyme) 3:1. HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by haemagglutination on the base of microplate’s wells. The concentration of pig RBC which was used in these study were 0,125%; 0,25%; 0,375%; 0,5%; 0,625%; 0,75%; 0,875%; 1% and 0,5% chicken RBC The result showed that pig RBC with 0,875% concentration were the highest HI titer than the others.
Key words: Avian Influenza, HI titer, pigs sera
ANALYSIS COMPARATION OF HI TITER AVIAN INFLUENZA VIRUSES SUBTYPE H5 IN PIGS SERA BY USING PIG RED BLOOD CELL
Rio Aditya Kurniawan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia
ABSTRACT
The aim of this study was to know and compare HI titer of Avian Influenza viruses subtype H5 in pigs sera by using pig RBC (Red Blood Cell). The samples for HI test were collected from sera of pigs in Surabaya abattoir that have been added RDE (Receptor Destroying Enzyme) 3:1. HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by haemagglutination on the base of microplate’s wells. The concentration of pig RBC which was used in these study were 0,125%; 0,25%; 0,375%; 0,5%; 0,625%; 0,75%; 0,875%; 1% and 0,5% chicken RBC The result showed that pig RBC with 0,875% concentration were the highest HI titer than the others.
Key words: Avian Influenza, HI titer, pigs sera
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, Indonesia
ABSTRACT
The aim of this study was to know and compare HI titer of Avian Influenza viruses subtype H5 in pigs sera by using pig RBC (Red Blood Cell). The samples for HI test were collected from sera of pigs in Surabaya abattoir that have been added RDE (Receptor Destroying Enzyme) 3:1. HI test is positive when inhibition of agglutination is shown, that is signed by haemagglutination on the base of microplate’s wells. The concentration of pig RBC which was used in these study were 0,125%; 0,25%; 0,375%; 0,5%; 0,625%; 0,75%; 0,875%; 1% and 0,5% chicken RBC The result showed that pig RBC with 0,875% concentration were the highest HI titer than the others.
Key words: Avian Influenza, HI titer, pigs sera
Langganan:
Komentar (Atom)