Cari Blog Ini

Rabu, 12 Mei 2010

New Genes Involved in Human Eye Color Identified


Three new genetic loci have been identified with involvement in subtle and quantitative variation of human eye color.

The study, led by Manfred Kayser of the Erasmus University Medical Center Rotterdam, The Netherlands, is published May 6 in the open-access journal PLoS Genetics.

Previous studies on the genetics of human eye color used broadly-categorized trait information such as 'blue', 'green', and 'brown'; however, variation in eye color exists in a continuous grading from the lightest blue to the darkest brown.

In this genome-wide association study, the eye color of about 6000 Dutch Europeans from the Rotterdam Study was digitally quantified using high-resolution full-eye photographs. This quantitative approach, which is cost-effective, portable, and time efficient, revealed that human eye color varies along more dimensions than are represented by the color categories used previously.

The researchers identified three new loci significantly associated with quantitative eye color. One of these, the LYST gene, was previously considered a pigmentation gene in mice and cattle, whereas the other two had no previous association with pigmentation.

These three genes, together with previously identified ones, explained over 50% of eye color variance, representing the highest accuracy achieved so far in genomic prediction of complex and quantitative human traits.

"These findings are also of relevance for future forensic applications," said Kayser, "where appearance prediction from biological material found at crime scenes may provide investigative leads to trace unknown persons."

Bayi Dengan Tiga Orang Tua Biologis


Bayi pertama dengan tiga orangtua biologis akan segera ada dalam waktu kurang dari tiga tahun setelah sukses riset untuk mencegah pewarisan penyakit mematikan.

Ilmuwan di Universitas Newcastle telah menumbuhkan embrio manusia setelah menggabungkan DNA dari dua telur dibuahi dengan teknik yang bisa mencegah penyimpangan genetika serius.

Prosedur itu didesain untuk membenahi ‘baterai sel’ cacat yang disebut mitokondria yang bisa menyebabkan penyakit fatal pada jantung, hati, syaraf dan otot dengan menggantikan dengan versi sehat dari embrio donor.

Seorang anak yang mengalami gangguan seperti itu bisa memperoleh warisan materi genetika dari tiga orang tua.

Ayah dan ibunya akan menyuplai 99,8% DNA, tetapi sejumlah kecil akan datang dari wanita kedua, yakni pendonor mitokondria, karena Mitokondria mengandung DNA.

Doug Turnbull yang memimpin riset mengatakan bahwa cara tersebut akan menolong keluarga dari risiko penyakit mitokondria untuk mendapatkan anak sehat, meskipun studi lebih lanjut masih dibutuhkan untuk menunjukkan efektivitas dan keamanan yang dibutuhkan.

Halangan regulasi juga harus diatasi. Di Inggris masih ilegal menempatkan embrio buatan di dalam kandungan wanita, tetapi Menteri Kesehatan Inggris memiliki kekuatan untuk mencabut larangan dengan legislasi baru

Bahtera Nabi Nuh Diklaim Telah Ditemukan

Peneliti secara sensasional mengklaim telah menemukan sisa-sisa bahtera Nuh di puncak gunung Turki setinggi 13 ribu kaki. Apakah klaim ini benar?.

Grup ini mengklaim unsur karbon yang terkandung telah membuktikan bahwa peninggalan ini berusia 4.800 tahun, sama dengan waktu ketika kapal itu diceritakan mengapung.

Gunung Ararat telah lama diperkirakan sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi kapal itu oleh ahli literatur berdasarkan kitab suci.

Yeung Wing-Cheung, dari tim peneliti Noah’s Ark Ministries International yang mendapatkan penemuan itu mengatakan “Ini memang bukan 100 persen kapal Nuh, namun kami berpikir 99,9 persen bahwa ini benar.”

Telah ada beberapa laporan penemuan kapal Nuh selama bertahun-tahun, terutama penemuan dari arkeolog Ron Wyatt pada 1987. Pada saat itu, pemerintah Turki secara resmi mengumumkan taman nasional di sekitar tempat penemuan berupa benda dengan potongan mirip kapal yang membentang di sepanjang gunung Ararat.

Namun demikian, penemuan terbaru ini diyakini merupakan artefak yang sebenarnya, berdasarkan peneliti asal Belanda, Gerrit Aalten yang dipanggil untuk ditanyai keabsahan penelitian ini.

“Signifikasi penelitian ini ialah yang pertama dalam sejarah dari penemuan kapal Nuh yang berhasil di dokumentasikan dan diungkapkan kepada masyarakat luas,” ujar Aalten.

Ia juga banyak mengutip rincian yang dicocokkan dengan sejarah dan dipercaya bahwa ini penemuan arkeologi yang sebenarnya.“Ada sejumlah bukti dari struktur benda yang ditemukan di Gunung Ararat sebelah timur Turki, sebagai bahtera Nuh yang legendaris,” ujar Aaltern.

Perwakilan dari pihak Noah’s Ark Ministries mengatakan bahwa struktur benda ini memiliki beberapa kompartemen, beberapa dengan kayu balok yang dipercaya sebagai tempat tinggal bagi hewan. Kelompok arkeolog mengesampingkan pemukiman penduduk yang ditemukan sekitar 11 ribu kaki sekiatarnya, ujar Yeung.

Selama konferensi pers, anggota tim Panda Lee menggambarkan lokasi situs tersebut. “Di Oktober 2008, saya mendaki gunung dengan tim Turki di ketinggian lebih dari 4 ribu meter, saya melihat struktur bangunan yang dibentuk mirip papan kay, setiap kayu memiliki lebar 8 inci. Saya dapat melihat sambungan kayu, di mana merupakan bukti kuno soal penggunaan paku logam.”

“Kami kemudian berjalan sekitar 100 meter di tempat lain. Saya melihat potongan fragmen kayu yang tertanam di gletser dan beberapa sepanjang 20 meter. Saya mengamati landscape dan menemukan struktur kayu yang permanen tertutup es dan batuan vulkanik.

”Pejabat lokal Turki akan meminta pemerintah pusat di Ankara untuk mengajukan status Warisan Dunia UNESCO sehingga situs ini dapat dilindungi sementara penggalian arkeologi utama dilakukan”.

Inbreeding May Have Caused Darwin Family Ills, Study Suggests


New research suggests that Charles Darwin's family was a living human example of a theory that he developed about plants: that inbreeding could negatively affect the health and number of resulting offspring.



Darwin was married to his first cousin, Emma Wedgwood. They had 10 children, but three died before age 10, two from infectious diseases. And three of the six surviving children with long-term marriages did not produce any offspring -- a "suspicious" sign, researchers say, that these Darwins could have had reproductive problems because of their lineage.

Studies have shown that susceptibility to infectious disease and unexplained infertility are risk factors of consanguineous marriage -- unions of people related by birth.

Scientists at Ohio State University and in Spain traced the genealogy of the Darwin and Wedgwood families for four generations. Darwin's mother and grandfather also were Wedgwoods, and his mother's parents were third cousins.

The researchers used these data to run calculations in a specialized computer program to determine what is called an "inbreeding coefficient," or the probability that an individual received two identical copies of a gene resulting from marriages among relatives.

The analysis showed a positive association between child mortality and the inbreeding coefficient for Charles Darwin's children and others in the Darwin/Wedgwood families, suggesting that matching damaging genetic traits from the blood-relative parents could have influenced the health of the offspring.

Darwin authored three botanical books showing that cross-fertilization was much more beneficial than self-fertilization for maintaining robust and plentiful plant species. He began to worry about the effects of Darwin-Wedgwood inbreeding on his own family after the death of his daughter, Annie, of tuberculosis at age 10 -- the second of his children to die young.

"He fretted that the ill health of his children might be due to the nature of the marriage, and he came to that because of his work on plants. He realized that with breeding of any kind, it's better to cross-breed than to put close relatives together," said Tim Berra, lead author of the study and professor emeritus of evolution, ecology and organismal biology at Ohio State's Mansfield campus.

"We conclude that it may well be that he had some justification for his worry about his offspring. But it's not all genetic doom and gloom -- three of his sons were so prominent that they were knighted by Queen Victoria for their achievements."

The research is published in the current issue of the journalBioScience.

Berra became aware of Darwin's pedigree and the famous scientist's related worries about his children's health as he conducted research for a recent biography, Charles Darwin: The Concise Story of an Extraordinary Man (2009, Johns Hopkins University Press).

Darwin himself was sickly, and contemporary researchers have theorized that he suffered from Chagas disease inflicted by insects in South America during his voyage on the HMS Beagle.

He obsessively logged information about his own health, which may have influenced his interest in his children's health, Berra said. But he also recognized from his botanical research that the long tradition of intermarriage between the Darwins and the Wedgwoods -- a common practice among prominent families in Victorian England -- might have had the unintended consequence of harming the health of his children.

Darwin's third child, Mary Eleanor, lived for only 23 days and died in 1842 of an unknown cause. Annie, his first daughter and second child, died in 1851, and his last child, Charles Waring, died at 18 months of scarlet fever in 1858.

Shortly after he completed the book, Berra's co-authors on this paper, Gonzalo Alvarez and Francisco Ceballos of the Universidad de Santiago de Compostela, published a genetics study detailing how inbreeding led to the extinction of the Spanish Habsburg dynasty. The group then teamed to conduct a similar analysis of the effects of the Darwin-Wedgwood connections.

The researchers traced 25 families among four generations of the Darwin-Wedgwood dynasty, which included a number of consanguineous marriages. The families had 176 children, 21 of whom died before age 10.

They then entered the data into a computer program that documented gene flow across the generations and calculated the inbreeding coefficient for these families. The resulting number represents the probability that within one's genetic code, an individual receives two genes identical by descent as a result of the common ancestry of his or her parents.

Darwin's children had an inbreeding coefficient of 0.0630, meaning that there is a 6.3 percent chance that identical copies of a given gene will come from each parent. This figure is nearly identical to the already-known 6.25 percent chance that offspring of first-cousin marriages will experience the same genetic effect.

That means if both the mother and father have a deleterious allele -- an allele is an alternate expression of a gene -- there is a 6 percent chance that offspring will receive both of those deleterious alleles and the related damaging effects will occur. Statistically, this translates into a roughly 2 percent chance that the children of first cousins will develop a congenital defect, Berra noted -- roughly the same order of difference in risks between a 30-year-old woman and a 41-year-old woman giving birth.

Darwin was concerned that his own ill health had been inherited by his children, though that was unlikely because he probably suffered from a parasitic disease rather than a genetic defect, Berra noted.

Instead, Berra and his colleagues suggest that Darwin's offspring might have had a higher chance of succumbing to such illnesses as TB and scarlet fever -- the cause of the children's deaths. Previous research has suggested that one consequence of inbreeding could be a higher susceptibility to infectious diseases.

Darwin didn't know about human genes, but he was such a good scientist, Berra said, that he was ahead of his time in linking his finding in plants to his own family.

"He was the one who developed this concept of inbreeding depression -- a reduction in offspring -- and therefore had enough information to begin to wonder about his own marriage and his children's health," Berra said.

The apparent infertility of three of the six surviving Darwin children will remain a mystery, Berra said. But population studies have suggested that statistically, offspring of consanguineous marriages are at higher risk for infertility.

"We can't really say they didn't leave offspring because they were the product of a cousin marriage. On the other hand, being the product of cousin marriage does have this infertility component. So one of six, you wouldn't worry. Two, there seems to be a chance this is the reason. Three out of six didn't leave offspring, so that's a fairly strong possibility," Berra said.
(Sumber. 1. Tim M. Berra, Gonzalo Alvarez, and Francisco C. Ceballos.Was the Darwin/Wedgwood Dynasty Adversely Affected by Consanguinity? BioScience, 2010; 60 (5): 376 DOI: 10.1525/bio.2010.60.5.7)

Mendeteksi Makanan Mengandung Babi atau Tidak

Pengusaha restoran di Kazakhstan sering kali mencampurkan daging babi pada masakannya agar menjadi lebih murah. Padahal, penduduk Kazakhstan sebagian besar Muslim.

Praktik para pengusaha restoran ini akan berkurang beberapa saat lagi. Pasalnya, para ilmuwan di Almaty, ibu kota Kazakhstan, telah menemukan sebuah alat untuk mendeteksi apakah sepiring makanan mengandung babi atau tidak.

Alat itu berupa batang plastik pendek yang dapat mendeteksi apakah makanan itu mengandung molekul yang hanya terdapat di dalam tubuh babi atau tidak. Caranya mudah. Masukkan saja sedikit daging ke dalam air, aduk, dan tunggu satu hingga dua menit, lalu masukkan batang plastik itu. Tidak lama, warna dalam batang plastik itu akan berubah, mengindikasikan apakah masakan itu mengandung babi atau tidak (sumber. kompas)

Identifikasi, Karakterisasi dan Morfologi KHV

Identifikasi dan Karakterisasi

Berdasarkan isolasi virus dengan menggunakan galur sel sirip koi (KF-1) yang identik dengan virus yang ditemukan pada jaringan ikan yang terinfeksi, Hedrick dan koleganya telah menyebut virus ini sebagai Koi Herpesvirus (KHV) (Gilad, et al., 2002). Namun dengan menggunakan genome virus yang diisolasi telah ditemukan virus ini memiliki DNA viral yang sangat berbeda dan molekul DNA untai ganda (dsDNA) sebesar 270-290 kbp (Hutoran, et al., 2005) yang menunjukkan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan herpesvirus lain yang sudah diketahui yaitu 120-240 kbp (McGeoch, et al., 2000).

Dengan karakteristik yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh famili herpesvirus dan berdasarkan pathobiologi penyakit ini pada ikan mas dengan menggunakan immunohistokimia, virus ini disebut juga sebagai Carp Interstitial Nephritis and Gill Necrosis Virus (CNGV) (Dishon, et al., 2002, Pikarsky, et al., 2004). Penentuan kedekatan virus ini dengan menggunakan analisis sequence dibandingkan dengan tiga famili herpesviridae yaitu pox herpesvirus ikan mas (Cyprinid herpesvirus 1, CyHV-1), haematopoietic necrosis herpesvirus ikan mas koki (Cyprinid herpesvirus 2, CyHV-2) dan channel catfish virus (Ictalurid herpesvirus 1, IcHV-1), telah menunjukkan virus ini berkerabat dengan dengan CyHV-1 dan CyHV2 dan diusulkan dengan nama Cyprinid herpesvirus 3 (CyHV-3) (Waltzek, et al., 2005). Virus ini juga diusulkan untuk dikelompokkan bersama herpesvirus akuatik lainnya sebagai alloherpesviridae (Ilouze, et al., 2006b) diluar famili herpesviridae klasik yang sudah dikenal memiliki tiga subfamili Alpha-, Beta-, dan Gammaherpesvirinae (McGeoch, et al., 2000). Namun demikian secara umum, virus ini telah lebih dikenal sebagai KHV seperti penamaan pertama kalinya.

Ilouze, et al. (2006a) menyebutkan KHV telah dapat dikonfirmasi sebagai agen penyebab penyakit masal yang menyebabkan kematian pada ikan mas dan koi berdasarkan pada data, sebagai berikut: 1) virus dapat diisolasi dari ikan yang sakit dan tidak dari ikan yang sehat (naive specimen), 2) inokulasi virus yang ditumbuhkan pada media sel sirip koi (KFC) dan menyebabkan sakit yang sama pada naive specimen, 3) ko-kultivasi sel ginjal dari spesimen yang diinduksi penyakit dapat menghasilkan virus yang sama ketika ditumbuhkan pada media KFC, 4) transfer virus dari ikan sakit ke media kultur sirip ikan mas (CFC) dalam tiga siklus dapat dilakukan, 5) isolasi virus yang diklon pada kultur jaringan dapat menginduksi penyakit yang sama pada ikan, 6) sera kelinci yang dibuat untuk melawan virus yang dimurnikan dapat berinteraksi secara spesifik dengan jaringan yang berasal baik dari ikan yang diinfeksi pada eksperimen ataupun dari ikan sakit dari kolam, dan 7) DNA viral telah didentifikasi pada KFC yang dinfeksi dan pada ikan sakit tetapi tidak dari ikan sehat. Identifikasi awal KHV ini telah memudahkan diagnosis penyakit dengan infeksi KFC, PCR dan metode immunologi (Ilouze, et al., 2006a).

KHV memiliki 31 polipeptida virion dimana 12 diantaranya memiliki berat molekul yang sama dengan herpesvirus cyprini (CHV) dan 10 virion sama dengan channel catfish virus (CCV) (Gilad, et al., 2002). Genom KHV adalah molekul linear dsDNA dengan ukuran sekitar 270-290 kbp dan berbeda dibandingkan dengan herpesvirus lain yang sudah diketahui, diantaranya vaccinia virus (sekitar 185 kbp) dan herpes simplex virus type 1 (sekitar 150 kbp) (Hutoran, et al., 2005). Waltzek, et al. (2005) telah menunjukkan sekuen asam amino KHV pada gen DNA helicase (GenBank accession no. AY939857), intercapsomeric triplex (GenBank accession no. AY939859), DNA polymerase (GenBank accession no. AY939862) dan major capsid protein (GenBank accession no. AY939864).

KHV memiliki dua gen yang belum pernah didapatkan pada genome anggota herpesviridae, yaitu: thymidylate kinase (TmpK), serine protease inhibitor (Ilouze, et al., 2006a), dan menghasilkan sekurangnya empat gen yang mengkode protein yang sama dengan yang diekspresikan oleh virus pox, yaitu: thymidylate kinase (TmpK), ribonucleotide reductase (RNR), thymidine kinase (TK) dan B22R-like gene (Ilouze, et al., 2006b). Sekuen TK telah diisolasi dan dikembangkan untuk analisis PCR dan dapat mengamplifikasi fragmen template DNA KHV pada 409 bp dan tidak dapat mengamplifikasi fragment template CCV, CHV ataupun galur sel KF-1 (Bercovier, et al., 2005).

Morfologi

KHV memiliki ukuran diameter 170-230 nm (Haramoto, et al., 2007), sedangkan inti virus berukuran 100-110 nm dengan bentuk icohedral (Hutoran, et al., 2005). Partikel inti ditemukan juga berbentuk circular atau poligonal dengan diameter 78-84 nm dan ekstraseluler virus terbungkus sebagai virion matang dengan diameter sekitar 133 nm (Choi, et al., 2004). Hasil pemotongan tipis pellet virus yang telah dimurnikan menunjukkan adanya partikel yang terbungkus dengan struktur seperti benang pada permukaan inti (Hutoran, et al., 2005). Antara pembungkus dengan nucleocapsid dipisahkan oleh celah electron-lucen sekitar 10 nm (Choi, et al., 2004). KHV juga berisi daerah padat-elektron asimetrik yang relatif kecil di dalam inti viral yang kemungkinan merupakan DNA genomik dan kompleks nucleoprotein (Hutoran, et al., 2005). Virus ini memiliki kepadatan bouyant sebesar 1.16 g/ml (Ilouze, et al., 2006a) dapat dipurifikasi menggunakan sentrifugasi pada gradient sukrosa dengan pita 37-39% sukrosa (Hutoran, et al., 2005).

Ada DNA Neanderthal di Tubuh Kita

Manusia Neanderthal dan manusia modern ternyata pernah kawin, kemungkinan besar terjadi ketika manusia pertama kali bermigrasi keluar dari Afrika, demikian sebuah studi genetika yang dirilis Jumat pagi WIB.
Orang Eropa, Asia dan Australasia semuanya memiliki DNA Neantherthal, tetapi orang Afrika tidak, kata para peneliti yang menyampaikan hasil penelitiannya dalam jurnal Science.

Hasil penelitian ini mungkin membantu menjawab perdebatan lama mengenai apakah manusia Neanderthal dan manusia modern hanya hidup berdampingan di Eropa dan Timur Tengah.

"Mereka yang tinggal di luar Afrika membawa sedikit DNA Neanderthal ke tubuh kita," kata Svante Paabo dari Institut Max Planck di Munich, Jerman, yang mengepalai penelitian itu.

"Proporsi material genetik asal Neanderthal kira-kira 1 sampai 4 persen. Memang kecil, tetapi itu proporsi yang benar-benar ada di nenek mooyang orang-orang non Afrika," kata Dr. David Reich dari Fakultas Kedokteran Universitas Harvard di Boston, yang menjadi anggota penelitian itu, kepada wartawan dalam briefing telepon.

Paabo mengaku tidak bisa mengidentifikasi kesamaan prilaku manusia Neanderthal dengan manusia modern sekarang. "Sejauh yang bisa kami katakan bukti-bukti ini hanya bagian acak dari DNA," katanya.

Para peneliti menggunakan metode modern yang disebut peruntutan seluruh genom untuk menguji DNA dari tulang-tulang Neanderthal yang ditemukan di Kroasia, Rusia, Jerman dan Spanyol, termasuk tulang-tulang patah dari seorang manusia gua di Kroasia yang disebut para peneliti sebagai bukti kanibalisme.

Para ilmuwan mengembangkan metode baru untuk mengumpulkan, membedakan dan merunutkan DNA manusia Neanderthal.

"Pada tulang-tulang itu yang usianya 30.000 sampai 40.000 tahun ada bukti teramat kecil DNA," kata Paabo. Dia menyatakan 97 persen atau lebih DNA yang diekstraksi berasal dari bakteri dan jamur.

Mereka kemudian membandingkannya dengan gen manusia Neanderthal dengan DNA lima orang Eropa, Asia, Papua Nugini dan Afrika.

"Analisis mereka membuktikan kekuatan perbandingan genom dan membawa pandangan baru mengenai pemahaman kita tentang evolusi manusia," kata Dr. Eric Green, Direktur Institut Riset Nasional Genom Manusia pada Institut Kesehatan Nasional.

Hasil penelitian mengimbuhkan bukti satu gambaran baru mengenai manusia modern yang hidup berdampingan atau berinteraksi pada tingkat yang paling intim dengan jenis manusia serupa yang kini sudah punah.

"Itu jelas sebuah petunjuk mengenai apa yang secara sosial terjadi manakala manusia Neanderthal bertemu dengan manusia modern," kata Paabo.

"Ada perkawinan pada tingkat tertentu. Saya memilih mewariskan pertanyaan ini kepada mereka yang ingin menjawabnya apakah kita ini spesies terpisah atau tidak. Secara genetis mereka (Neanderhtal) tidak jauh berbeda dari kita," tambahnya.

Perunutan DNA menjejak kembali masa sekitar 80.000 tahun lalu, manakala manusia modern pindah ke Timur Tengah dari Afrika, akan membuatnya sampai di kawasan selatan yang banyak dihuni manusia Neanderthal.

Para peneliti mengidentifikasi lima gen unik pada manusia Neanderthal, termasuk tiga gen kulit. "Bukti ini menujukkan bahwa sesuatu dalam fisiologi atau morfologi kulit manusia telah berubah," kata Paabo.

Bulan Maret lalu Paabo dan koleganya melaporkan bahwa mereka menemukan spesies manusia yang tidak dikenal yang kemungkinan hidup 30.000 tahun lalu, di samping manusia modern dan manusia Neanderthal di Siberia.

Selama bertahun-tahun para peneliti berspekulasi mengenai beberapa perbedaan dalam spesies manusia yang tinggal berdampingan di masa awal jutaaan tahun lalu. Banyak diantaranya hidup di kawasan tropis di mana sisa tulang tidak terpelihara.

Paabo mengatakan manusia Afrika modern mungkin membawa sejumlah DNA tak dikenal, andai mereka tidak membawa DNA nenek moyang manusia Neanderthal. (*)

VAKSIN DNA UNTUK VIRUS KHV YANG MENYERANG IKAN MAS DAN KOI

VAKSIN DNA UNTUK VIRUS KHV YANG MENYERANG IKAN MAS DAN KOI

Serangan koi herpesvirus (KHV) dapat menyebabkan kematian massal pada ikan mas dan koi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, masyarakat pembudidaya telah lama menunggu adanya vaksin untuk KHV. Vaksin dari virus yang dilemahkan telah tersedia, namun demikian harganya sangat mahal dan dari hasil pengujian yang dilakukan bahwa ada indikasi virus tersebut sebagian masih virulen. Vaksin DNA merupakan alternatif vaksin yang efektif dan aman. Melalui penelitian yang disponsori oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat (tahun 2008) dan Program Penelitian Hibah Doktor oleh SPS-IPB (tahun 2009), Sri Nuryati, S.Pi., M.Si yang merupakan mahasiswa program studi S3 PS Sains Veteriner-SPS IPB, yang sekaligus staf pengajar di Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB telah membuat vaksin DNA untuk KHV. Hasil analisis reverse transcriptase PCR menunjukkan bahwa gen yang dibawa oleh vaksin tersebut terekspresi pada ikan yang divaksinasi yang berarti bahwa vaksin tersebut bersifat aktif. Selanjutnya, melalui uji tantang skala laboratorium vaksin tersebut mampu meningkatkan kelangsungan hidup ikan mas lebih dari 95% selama satu bulan setelah vaksinasi. Ikan yang tidak divaksin sebelum uji tantang dilakukan semuanya mati. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin DNA tersebut sangat efektif untuk menanggulangi serangan virus KHV.

Metode aplikasi vaksin yang digunakan pada penelitian tahap pertama ini masih melalui injeksi. Pada penelitian selanjutnya akan dikembangkan metode yang mudah diaplikasikan di lapangan secara massal, seperti melalui pakan alami dan pakan buatan. Mengingat kemampuan proteksi vaksin DNA cukup besar, maka pengembangan metode vaksinasi untuk aplikasi di lapangan perlu segera dilaksanakan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pencegahan infeksi KHV pada ikan budidaya yang sudah terjadi di Indonesia sejak 2002, yang sampai sekarang problem tersebut belum mendapatkan solusi yang tepat (Sumber. lppm IPB).